Kamis, 23 April 2015

Raden Qasim ( Sunan Derajad )


Semasa muda ia dikenal sebagai Raden Qasim, Qosim, atawa Kasim. Masih banyak nama lain yang disandangnya di berbagai naskah kuno. Misalnya Sunan Mahmud, Sunan Mayang Madu, Sunan Muryapada, Raden Imam, Maulana Hasyim, Syekh Masakeh, Pangeran Syarifuddin, Pangeran Kadrajat, dan Masaikh Munat. Dia adalah putra Sunan Ampel dari perkawinan dengan Nyi Ageng Manila, alias Dewi Condrowati. Empat putra Sunan Ampel lainnya adalah Sunan Bonang, Siti Muntosiyah, yang dinikahi Sunan Giri, Nyi Ageng Maloka, yang diperistri Raden Patah, dan seorang putri yang disunting Sunan Kalijaga. Akan halnya Sunan Drajat sendiri, tak banyak naskah yang mengungkapkan jejaknya.
Ada diceritakan, Raden Qasim menghabiskan masa kanak dan remajanya di kampung halamannya di Ampeldenta, Surabaya. Setelah dewasa, ia diperintahkan ayahnya, Sunan Ampel, untuk berdakwah di pesisir barat Gresik. Perjalanan ke Gresik ini merangkumkan sebuah cerita, yang kelak berkembang menjadi legenda.
Syahdan, berlayarlah Raden Qasim dari Surabaya, dengan menumpang biduk nelayan. Di tengah perjalanan, perahunya terseret badai, dan pecah dihantam ombak di daerah Lamongan, sebelah barat Gresik. Raden Qasim selamat dengan berpegangan pada dayung perahu. Kemudian, ia ditolong ikan cucut dan ikan talang –ada juga yang menyebut ikan cakalang.
Dengan menunggang kedua ikan itu, Raden Qasim berhasil mendarat di sebuah tempat yang kemudian dikenal sebagai Kampung Jelak, Banjarwati. Menurut tarikh, persitiwa ini terjadi pada sekitar 1485 Masehi. Di sana, Raden Qasim disambut baik oleh tetua kampung bernama Mbah Mayang Madu dan Mbah Banjar.
Konon, kedua tokoh itu sudah diislamkan oleh pendakwah asal Surabaya, yang juga terdampar di sana beberapa tahun sebelumnya. Raden Qasim kemudian menetap di Jelak, dan menikah dengan Kemuning, putri Mbah Mayang Madu. Di Jelak, Raden Qasim mendirikan sebuah surau, dan akhirnya menjadi pesantren tempat mengaji ratusan penduduk.
Jelak, yang semula cuma dusun kecil dan terpencil, lambat laun berkembang menjadi kampung besar yang ramai. Namanya berubah menjadi Banjaranyar. Selang tiga tahun, Raden Qasim pindah ke selatan, sekitar satu kilometer dari Jelak, ke tempat yang lebih tinggi dan terbebas dari banjir pada musim hujan. Tempat itu dinamai Desa Drajat.
Namun, Raden Qasim, yang mulai dipanggil Sunan Drajat oleh para pengikutnya, masih menganggap tempat itu belum strategis sebagai pusat dakwah Islam. Sunan lantas diberi izin oleh Sultan Demak, penguasa Lamongan kala itu, untuk membuka lahan baru di daerah perbukitan di selatan. Lahan berupa hutan belantara itu dikenal penduduk sebagai daerah angker.
Menurut sahibul kisah, banyak makhluk halus yang marah akibat pembukaan lahan itu. Mereka meneror penduduk pada malam hari, dan menyebarkan penyakit. Namun, berkat kesaktiannya, Sunan Drajat mampu mengatasi. Setelah pembukaan lahan rampung, Sunan Drajat bersama para pengikutnya membangun permukiman baru, seluas sekitar sembilan hektare.
Atas petunjuk Sunan Giri, lewat mimpi, Sunan Drajat menempati sisi perbukitan selatan, yang kini menjadi kompleks pemakaman, dan dinamai Ndalem Duwur. Sunan mendirikan masjid agak jauh di barat tempat tinggalnya. Masjid itulah yang menjadi tempat berdakwah menyampaikan ajaran Islam kepada penduduk.
Sunan menghabiskan sisa hidupnya di Ndalem Duwur, hingga wafat pada 1522. Di tempat itu kini dibangun sebuah museum tempat menyimpan barang-barang peninggalan Sunan Drajat –termasuk dayung perahu yang dulu pernah menyelamatkannya. Sedangkan lahan bekas tempat tinggal Sunan kini dibiarkan kosong, dan dikeramatkan.
Sunan Drajat terkenal akan kearifan dan kedermawanannya. Ia menurunkan kepada para pengikutnya kaidah tak saling menyakiti, baik melalui perkataan maupun perbuatan. ”Bapang den simpangi, ana catur mungkur,” demikian petuahnya. Maksudnya: jangan mendengarkan pembicaraan yang menjelek-jelekkan orang lain, apalagi melakukan perbuatan itu.
Sunan memperkenalkan Islam melalui konsep dakwah bil-hikmah, dengan cara-cara bijak, tanpa memaksa. Dalam menyampaikan ajarannya, Sunan menempuh lima cara. Pertama, lewat pengajian secara langsung di masjid atau langgar. Kedua, melalui penyelenggaraan pendidikan di pesantren. Selanjutnya, memberi fatwa atau petuah dalam menyelesaikan suatu masalah.
Cara keempat, melalui kesenian tradisional. Sunan Drajat kerap berdakwah lewat tembang pangkur dengan iringan gending. Terakhir, ia juga menyampaikan ajaran agama melalui ritual adat tradisional, sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Empat pokok ajaran Sunan Drajat adalah: Paring teken marang kang kalunyon lan wuta; paring pangan marang kang kaliren; paring sandang marang kang kawudan; paring payung kang kodanan. Artinya: berikan tongkat kepada orang buta; berikan makan kepada yang kelaparan; berikan pakaian kepada yang telanjang; dan berikan payung kepada yang kehujanan.
Sunan Drajat sangat memperhatikan masyarakatnya. Ia kerap berjalan mengitari perkampungan pada malam hari. Penduduk merasa aman dan terlindungi dari gangguan makhluk halus yang, konon, merajalela selama dan setelah pembukaan hutan. Usai salat asar, Sunan juga berkeliling kampung sambil berzikir, mengingatkan penduduk untuk melaksanakan salat magrib.
”Berhentilah bekerja, jangan lupa salat,” katanya dengan nada membujuk. Ia selalu menelateni warga yang sakit, dengan mengobatinya menggunakan ramuan tradisional, dan doa. Sebagaimana para wali yang lain, Sunan Drajat terkenal dengan kesaktiannya. Sumur Lengsanga di kawasan Sumenggah, misalnya, diciptakan Sunan ketika ia merasa kelelahan dalam suatu perjalanan.
Ketika itu, Sunan meminta pengikutnya mencabut wilus, sejenis umbi hutan. Ketika Sunan kehausan, ia berdoa. Maka, dari sembilan lubang bekas umbi itu memancar air bening –yang kemudian menjadi sumur abadi. Dalam beberapa naskah, Sunan Drajat disebut-sebut menikahi tiga perempuan. Setelah menikah dengan Kemuning, ketika menetap di Desa Drajat, Sunan mengawini Retnayu Condrosekar, putri Adipati Kediri, Raden Suryadilaga.
Peristiwa itu diperkirakan terjadi pada 1465 Masehi. Menurut Babad Tjerbon, istri pertama Sunan Drajat adalah Dewi Sufiyah, putri Sunan Gunung Jati. Alkisah, sebelum sampai di Lamongan, Raden Qasim sempat dikirim ayahnya berguru mengaji kepada Sunan Gunung Jati. Padahal, Syarif Hidayatullah itu bekas murid Sunan Ampel.
Di kalangan ulama di Pulau Jawa, bahkan hingga kini, memang ada tradisi ‘’saling memuridkan”. Dalam Babad Tjerbon diceritakan, setelah menikahi Dewi Sufiyah, Raden Qasim tinggal di Kadrajat. Ia pun biasa dipanggil dengan sebutan Pangeran Kadrajat, atau Pangeran Drajat. Ada juga yang menyebutnya Syekh Syarifuddin.
Bekas padepokan Pangeran Drajat kini menjadi kompleks perkuburan, lengkap dengan cungkup makam petilasan, terletak di Kelurahan Drajat, Kecamatan Kesambi. Di sana dibangun sebuah masjid besar yang diberi nama Masjid Nur Drajat. Naskah Badu Wanar dan Naskah Drajat mengisahkan bahwa dari pernikahannya dengan Dewi Sufiyah, Sunan Drajat dikaruniai tiga putra.
Anak tertua bernama Pangeran Rekyana, atau Pangeran Tranggana. Kedua Pangeran Sandi, dan anak ketiga Dewi Wuryan. Ada pula kisah yang menyebutkan bahwa Sunan Drajat pernah menikah dengan Nyai Manten di Cirebon, dan dikaruniai empat putra. Namun, kisah ini agak kabur, tanpa meninggalkan jejak yang meyakinkan.
Tak jelas, apakah Sunan Drajat datang di Jelak setelah berkeluarga atau belum. Namun, kitab Wali Sanga babadipun Para Wali mencatat: ”Duk samana anglaksanani, mangkat sakulawarga….” Sewaktu diperintah Sunan Ampel, Raden Qasim konon berangkat ke Gresik sekeluarga. Jika benar, di mana keluarganya ketika perahu nelayan itu pecah? Para ahli sejarah masih mengais-ngais naskah kuno untuk menjawabnya.
Beliau wafat dan dimakamkan di desa Drajad, kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan Jawa Timur. Tak jauh dari makam beliau telah dibangun Museum yang menyimpan beberapa peninggalan di jaman Wali Sanga. Khususnya peninggalan beliau di bidang kesenian.

Raden Makdum Ibrahim ( Sunan Bonang )


Ia anak Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana Malik Ibrahim. Nama kecilnya adalah Raden Makdum Ibrahim. Lahir diperkirakan 1465 M dari seorang perempuan bernama Nyi Ageng Manila, puteri seorang adipati di Tuban. 
Sunan Bonang belajar agama dari pesantren ayahnya di Ampel Denta. Setelah cukup dewasa, ia berkelana untuk berdakwah di berbagai pelosok Pulau Jawa. Mula-mula ia berdakwah di Kediri, yang mayoritas masyarakatnya beragama Hindu. Di sana ia mendirikan Masjid Sangkal Daha.
Ia kemudian menetap di Bonang -desa kecil di Lasem, Jawa Tengah -sekitar 15 kilometer timur kota Rembang. Di desa itu ia membangun tempat pesujudan/zawiyah sekaligus pesantren yang kini dikenal dengan nama Watu Layar. Ia kemudian dikenal pula sebagai imam resmi pertama Kesultanan Demak, dan bahkan sempat menjadi panglima tertinggi. Meskipun demikian, Sunan Bonang tak pernah menghentikan kebiasaannya untuk berkelana ke daerah-daerah yang sangat sulit.
Ia acap berkunjung ke daerah-daerah terpencil di Tuban, Pati, Madura maupun Pulau Bawean. Di Pulau inilah, pada 1525 M ia meninggal. Jenazahnya dimakamkan di Tuban, di sebelah barat Masjid Agung, setelah sempat diperebutkan oleh masyarakat Bawean dan Tuban. 
Tak seperti Sunan Giri yang lugas dalam fikih, ajaran Sunan Bonang memadukan ajaran ahlussunnah bergaya tasawuf dan garis salaf ortodoks. Ia menguasai ilmu fikih, usuludin, tasawuf, seni, sastra dan arsitektur. Masyarakat juga mengenal Sunan Bonang sebagai seorang yang piawai mencari sumber air di tempat-tempat gersang. 
Ajaran Sunan Bonang berintikan pada filsafat 'cinta'('isyq). Sangat mirip dengan kecenderungan Jalalludin Rumi. Menurut Bonang, cinta sama dengan iman, pengetahuan intuitif (makrifat) dan kepatuhan kepada Allah SWT atau haq al yaqqin. Ajaran tersebut disampaikannya secara populer melalui media kesenian yang disukai masyarakat. Dalam hal ini, Sunan Bonang bahu-membahu dengan murid utamanya, Sunan Kalijaga. 
Sunan Bonang banyak melahirkan karya sastra berupa suluk, atau tembang tamsil. Salah satunya adalah "Suluk Wijil" yang tampak dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa'id Al Khayr (wafat pada 899). Suluknya banyak menggunakan tamsil cermin, bangau atau burung laut. Sebuah pendekatan yang juga digunakan oleh Ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Rumi serta Hamzah Fansuri. 
Sunan Bonang juga menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika Hindu, dengan memberi nuansa baru. Dialah yang menjadi kreator gamelan Jawa seperti sekarang, dengan menambahkan instrumen bonang. Gubahannya ketika itu memiliki nuansa dzikir yang mendorong kecintaan pada kehidupan transedental (alam malakut). Tembang "Tombo Ati" adalah salah satu karya Sunan Bonang. 
Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang piawai membius penontonnya. Kegemarannya adalah menggubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam. Kisah perseteruan Pandawa-Kurawa ditafsirkan Sunan Bonang sebagai peperangan antara nafi (peniadaan) dan 'isbah (peneguhan).

Raden 'Ainul Yaqin ( Sunan Giri )



Sunan Giri adalah nama salah seorang Walisongo dan pendiri kerajaan Giri Kedaton, yang berkedudukan di daerah Gresik, Jawa Timur. Ia lahir di Blambangan tahun 1442. Sunan Giri memiliki beberapa nama panggilan, yaitu Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul Faqih, Raden 'Ainul Yaqin dan Joko Samudra. Ia dimakamkan di desa Giri, Kebomas, Gresik.
 Silsilah
Beberapa babad menceritakan pendapat yang berbeda mengenai silsilah Sunan Giri. Sebagian babad berpendapat bahwa ia adalah anak Maulana Ishaq, seorang mubaligh yang datang dari Asia Tengah. Maulana Ishaq diceritakan menikah dengan Dewi Sekardadu, yaitu putri dari Menak Sembuyu penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir kekuasaan Majapahit.
Pendapat lainnya yang menyatakan bahwa Sunan Giri juga merupakan keturunan Rasulullah SAW; yaitu melalui jalur keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja'far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rummi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali' Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin Khan), Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana Akbar), Maulana Ishaq, dan 'Ainul Yaqin (Sunan Giri). Umumnya pendapat tersebut adalah berdasarkan riwayat pesantren-pesantren Jawa Timur, dan catatan nasab Saadah Ba Alawi Hadramaut.
 Kisah
Sunan Giri merupakan buah pernikahan dari Maulana Ishaq, seorang mubaligh Islam dari Asia Tengah, dengan Dewi Sekardadu, putri Menak Sembuyu penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir Majapahit. Namun kelahirannya dianggap telah membawa kutukan berupa wabah penyakit di wilayah tersebut. Dipaksa untuk membuang anaknya, Dewi Sekardadu menghanyutkannya ke laut.
Kemudian, bayi tersebut ditemukan oleh sekelompok awak kapal (pelaut) dan dibawa ke Gresik. Di Gresik, dia diadopsi oleh seorang saudagar perempuan pemilik kapal, Nyai Gede Pinatih. Karena ditemukan di laut, dia menamakan bayi tersebut Joko Samudra.
Ketika sudah cukup dewasa, Joko Samudra dibawa ibunya ke Surabaya untuk belajar agama kepada Sunan Ampel. Tak berapa lama setelah mengajarnya, Sunan Ampel mengetahui identitas sebenarnya dari murid kesayangannya itu. Kemudian, Sunan Ampel mengirimnya dan Makdhum Ibrahim (Sunan Bonang), untuk mendalami ajaran Islam di Pasai. Mereka diterima oleh Maulana Ishaq yang tak lain adalah ayah Joko 
Samudra. Di sinilah, Joko Samudra, yang ternyata bernama Raden Paku, mengetahui asal-muasal dan alasan mengapa dia dulu dibuang.
 Dakwah dan kesenian
Setelah tiga tahun berguru kepada ayahnya, Raden Paku atau lebih dikenal dengan Raden 'Ainul Yaqin kembali ke Jawa. Ia kemudian mendirikan sebuah pesantren giri di sebuah perbukitan di desa Sidomukti, Kebomas. Dalam bahasa Jawa, giri berarti gunung. Sejak itulah, ia dikenal masyarakat dengan sebutan Sunan Giri.
Pesantren Giri kemudian menjadi terkenal sebagai salah satu pusat penyebaran agama Islam di Jawa, bahkan pengaruhnya sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Pengaruh Giri terus berkembang sampai menjadi kerajaan kecil yang disebut Giri Kedaton, yang menguasai Gresik dan sekitarnya selama beberapa generasi sampai akhirnya ditumbangkan oleh Sultan Agung.
Terdapat beberapa karya seni tradisional Jawa yang sering dianggap berhubungkan dengan Sunan Giri, diantaranya adalah permainan-permainan anak seperti Jelungan, Lir-ilir dan Cublak Suweng; serta beberapa gending (lagu instrumental Jawa) seperti Asmaradana dan Pucung.

Raden Rahmat ( Sunan Ampel )

Sunan Ampel
Sunan Ampel merupakan salah seorang anggota Walisanga yang sangat besar jasanya dalam perkembangan Islam di Pulau Jawa. Sunan Ampel adalah bapak para wali.Dari tangannya lahir para pendakwah Islam kelas satu di bumi tanah jawa. Nama asli Sunan Ampel adalah Raden Rahmat. Sedangkan sebutan sunan merupakan gelar kewaliannya, dan nama Ampel atau Ampel Denta itu dinisbatkan kepada tempat tinggalnya, sebuah tempat dekat Surabaya.
Ia dilahirkan tahun 1401 Masehi di Champa.Para ahli kesulitan untuk menentukan Champa disini, sebab belum ada pernyataan tertulis maupun prasasti yang menunjukkan Champa di Malaka atau kerajaan Jawa. Saifuddin Zuhri (1979) berkeyakinan bahwa Champa adalah sebutan lain dari Jeumpa dalam bahasa Aceh, oleh karena itu Champa berada dalam wilayah kerejaan Aceh. Hamka (1981) berpendapat sama, kalau 

benar bahwa Champa itu bukan yang di Annam Indo Cina, sesuai Enscyclopaedia Van Nederlandsch Indie, tetapi di Aceh.
Ayah Sunan Ampel atau Raden Rahmat bernama Maulana Malik Ibrahim atau Maulana Maghribi, yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Gresik. Ibunya bernama Dewi Chandrawulan, saudara kandung Putri Dwarawati Murdiningrum, ibu Raden Fatah, istri raja Majapahit Prabu Brawijaya V. Istri Sunan Ampel ada dua yaitu: Dewi Karimah dan Dewi Chandrawati. Dengan istri pertamanya, Dewi Karimah, dikaruniai dua orang anak yaitu: Dewi Murtasih yang menjadi istri Raden Fatah (sultan pertama kerajaan Islam Demak Bintoro) dan Dewi Murtasimah yang menjadi permaisuri Raden Paku atau Sunan Giri. Dengan Istri keduanya, Dewi Chandrawati, Sunan Ampel memperoleh lima orang anak, yaitu: Siti Syare’at, Siti Mutmainah, Siti Sofiah, Raden Maulana Makdum, Ibrahim atau Sunan Bonang, serta Syarifuddin atau Raden Kosim yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Drajat atau kadang-kadang disebut Sunan Sedayu.
Sunan Ampel dikenal sebagai orang yang berilmu tinggi dan alim, sangat terpelajar dan mendapat pendidikan yang mendalam tentang agama Islam. Sunan Ampel juga dikenal mempunyai akhlak yang mulia, suka menolong dan mempunyai keprihatinan sosial yang tinggi terhadap masalah-masalah sosial.

Syeh Maulana Malik Ibrahim ( Sunan Gresik )


Agama Islam menyebar di bumi nusantara dikabarkan dilakukan oleh para ulama yang kemudian dianugrahi gelar Wali Songo. Dan Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim adalah sosok ulama pertama yang diberi gelar sebagai Wali Songo. Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M/882 H) adalah nama salah seorang Walisongo, yang dianggap yang pertama kali menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Ia dimakamkan di desa Gapura, kota Gresik, Jawa Timur.
Tidak terdapat bukti sejarah yang meyakinkan mengenai asal keturunan Maulana Malik Ibrahim, meskipun pada umumnya disepakati bahwa ia bukanlah orang Jawa asli. Sebutan Syekh Maghribi yang diberikan masyarakat kepadanya, kemungkinan menisbatkan asal keturunannya dari Maghrib, atau Maroko di Afrika Utara.
Babad Tanah Jawi versi J.J. Meinsma menyebutnya dengan nama Makhdum Ibrahim as-Samarqandy, yang mengikuti pengucapan lidah Jawa menjadi Syekh Ibrahim Asmarakandi. Ia memperkirakan bahwa Maulana Malik Ibrahim lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14.
Dalam keterangannya pada buku The History of Java mengenai asal mula dan perkembangan kota Gresik, Raffles menyatakan bahwa menurut penuturan para penulis lokal, “Mulana Ibrahim, seorang Pandita terkenal berasal dari Arabia, keturunan dari Jenal Abidin, dan sepupu Raja Chermen (sebuah negara Sabrang), telah menetap bersama para Mahomedans lainnya di Desa Leran di Jang’gala”.
Namun demikian, kemungkinan pendapat yang terkuat adalah berdasarkan pembacaan J.P. Moquette atas baris kelima tulisan pada prasasti makamnya di desa Gapura Wetan, Gresik; yang mengindikasikan bahwa ia berasal dari Kashan, suatu tempat di Iran sekarang.
Terdapat beberapa versi mengenai silsilah Maulana Malik Ibrahim. Ia pada umumnya dianggap merupakan keturunan Rasulullah SAW; melalui jalur keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja’far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rumi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali’ Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal, Jamaluddin Akbar al-Husain (Maulana Akbar), dan Maulana Malik Ibrahim.
 Penyebaran Agama
Maulana Malik Ibrahim dianggap termasuk salah seorang yang pertama-tama menyebarkan agama Islam di tanah Jawa, dan merupakan wali senior diantara para Walisongo lainnya.
Beberapa versi babad menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali ialah desa Sembalo, sekarang adalah daerah Leran, Kecamatan Manyar, yaitu 9 kilometer ke arah utara kota Gresik. Ia lalu mulai menyiarkan agama Islam di tanah Jawa bagian timur, dengan mendirikan mesjid pertama di desa Pasucinan, Manyar.
Pertama-tama yang dilakukannya ialah mendekati masyarakat melalui pergaulan. Budi bahasa yang ramah-tamah senantiasa diperlihatkannya di dalam pergaulan sehari-hari. Ia tidak menentang secara tajam agama dan kepercayaan hidup dari penduduk asli, melainkan hanya memperlihatkan keindahan dan kabaikan yang dibawa oleh agama Islam. Berkat keramah-tamahannya, banyak masyarakat yang tertarik masuk ke dalam agama Islam.
Sebagaimana yang dilakukan para wali awal lainnya, aktivitas pertama yang dilakukan Maulana Malik Ibrahim ialah berdagang. Ia berdagang di tempat pelabuhan terbuka, yang sekarang dinamakan desa Roomo, Manyar.
Perdagangan membuatnya dapat berinteraksi dengan masyarakat banyak, selain itu raja dan para bangsawan dapat pula turut serta dalam kegiatan perdagangan tersebut sebagai pelaku jual-beli, pemilik kapal atau pemodal.
Setelah cukup mapan di masyarakat, Maulana Malik Ibrahim kemudian melakukan kunjungan ke ibukota Majapahit di Trowulan. Raja Majapahit meskipun tidak masuk Islam tetapi menerimanya dengan baik, bahkan memberikannya sebidang tanah di pinggiran kota Gresik. Wilayah itulah yang sekarang dikenal dengan nama desa Gapura. Cerita rakyat tersebut diduga mengandung unsur-unsur kebenaran; mengingat menurut Groeneveldt pada saat Maulana Malik Ibrahim hidup, di ibukota Majapahit telah banyak orang asing termasuk dari Asia Barat.
Demikianlah, dalam rangka mempersiapkan kader untuk melanjutkan perjuangan menegakkan ajaran-ajaran Islam, Maulana Malik Ibrahim membuka pesantren-pesantren yang merupakan tempat mendidik pemuka agama Islam di masa selanjutnya. Hingga saat ini makamnya masih diziarahi orang-orang yang menghargai usahanya menyebarkan agama Islam berabad-abad yang silam. Setiap malam Jumat Legi, masyarakat setempat ramai berkunjung untuk berziarah.
Ritual ziarah tahunan atau haul juga diadakan setiap tanggal 12 Rabi’ul Awwal, sesuai tanggal wafat pada prasasi makamnya. Pada acara haul biasa dilakukan khataman Al-Quran, mauludan (pembacaan riwayat Nabi Muhammad), dan dihidangkan makanan khas bubur harisah.
 Legenda Rakyat
Menurut legenda rakyat, dikatakan bahwa Maulana Malik Ibrahim berasal dari Persia. Maulana Malik Ibrahim Ibrahim dan Maulana Ishaq disebutkan sebagai anak dari Maulana Jumadil Kubro, atau Syekh Jumadil Qubro. Maulana Ishaq disebutkan menjadi ulama terkenal di Samudera Pasai, sekaligus ayah dari Raden Paku atau Sunan Giri. Syekh Jumadil Qubro dan kedua anaknya bersama-sama datang ke pulau Jawa. Setelah itu mereka berpisah; Syekh Jumadil Qubro tetap di pulau Jawa, Maulana Malik Ibrahim ke Champa, Vietnam Selatan; dan adiknya Maulana Ishak mengislamkan Samudera Pasai.
Maulana Malik Ibrahim disebutkan bermukim di Champa (dalam legenda disebut sebagai negeri Chermain atau Cermin) selama tiga belas tahun. Ia menikahi putri raja yang memberinya dua putra; yaitu Raden Rahmat atau Sunan Ampel dan Sayid Ali Murtadha atau Raden Santri. Setelah cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, ia hijrah ke pulau Jawa dan meninggalkan keluarganya. Setelah dewasa, kedua anaknya mengikuti jejaknya menyebarkan agama Islam di pulau Jawa.
Maulana Malik Ibrahim dalam cerita rakyat terkadang juga disebut dengan nama Kakek Bantal. Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah, dan berhasil dalam misinya mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara.
Selain itu, ia juga sering mengobati masyarakat sekitar tanpa biaya. Sebagai tabib, diceritakan bahwa ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Champa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.
 Wafat
Setelah selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur. Saat ini, jalan yang menuju ke makam tersebut diberi nama Jalan Malik Ibrahim.

Biografi KH Sirojuddin Abbas Minangkabau



Sebagian orang menuduh bahwa KH Sirojuddin Abbas adalah pembohong atau membuat fitnah. Ini dapat dinukil dari tulisan-tulisan puak salafi-wahabi. Akan tetapi, apakah banyak orang tahu siapakah KH Sirojuddin Abbas ini? Latar belakang beliau serta perjalanan dakwah beliau? oleh itu, ana akan memaparkan sekilas biodata beliau yang ana nukil dari Ensiklopedi Ulama Nusantara yang disusun oleh H. M. Bibit Suprapto.
Di kalangan ulama Indonesia, nama kiai Haji Sirojuddin Abbas sudah bukan nama asing lagi. Ulama ini terkenal seorang muallif kitab yang cukup produktif walau tidak sampai berjumlah puluhan buah. Sebagai seorang muallif kitab, Kiai Sirojuddin Abbas justru lebih banyak dikenal orang melalui karya-karya ilmiah keislaman yang disusunnya daripada bertemu langsung wajhan bi wajhin dengan orangnya.
Pikiran-pikiran keagamaan K. Sirojuddin Abbas banyak diikuti orang, baik yang menyangkut segi-segi akidah maupun syariah. Kitab-kitab karya ulama ini bukan saja dibaca oleh kelompok kecil di kalangan masyarakat Minangkabau di mana ia dilahirkan, bukan pula hanya oleh warga Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) yang pernah dipimpinnya, tetapi juga tersebar luas di kalangan umat Islam. Bisa dikatakan, orang Islam Indonesia, khususnya kelompok tradisional, menyatakan Kiai Sirojuddin sebagai pembela mazhab Syafi’i di Indonesia yang argumentatif dan menguasai bidangnya lewat kitab-kitab yang disusunnya. Kalangan tradisional di Indonesia, termasuk di dalamnya Nahdlatul Ulama, mengakui kealiman ulama ini. Ini terbukti dari banyaknya warga NU yang membaca karya-karya K. Sirojuddin Abbas, terutama warga NU dari kalangan pelajar dan mahasiswa.
Kelebihan lain K. Sirojuddin Abbas, selain seorang ulama muallif, adalah sangat gigih mempertahankan mazhab Ahlussunnah wal Jamaah, khususnya mazhab Syafi’i dalam bidang ilmu fikih. Pembelaan ini relevan sekali dengan kondisi Indonesia dan Asia Tenggara yang mayoritas penganut mazhab Syafi’i dalam ibadahnya. Dengan pembelaannya yang gigih dan argumentatif, banyak kalangan modernis yang menyebutnya terlalu kaku dan apriori terhadap paham lain, khususnya paham-paham baru.
KH.Sirajuddin Abbas lahir di kampung Bengkawas, Kabupaten Agam, Bukit tinggi, Sumatra barat, pada tanggal 20 Mei 1905. Sebagai anak laki-laki sulung Syekh Abbas bin Abdi Wahab bin Abdul Hakim Ladang lawas, seorang qadhi, ibu beliau bernama Ramalat binti Jai Bengkawas. Beliau dibesarkan dalam lingkungan agama yang taat. Pada mulanya beliau belajar Al quran pada ibu hingga berusia 13 tahun. Setelah itu beliau belajar kitab-kitab arab pada ayah beliau selama tiga tahun.
Selama enam tahun berikutnya, beliau belajar kepada para ulama di Bukittinggi dan sekitarnya. Seperti syekh Husen Pekan Senayan Kabupaten Agam, Tuanku Imran limbukan Payakumbuh limapuluh kota, Syekh H.Qasem Simabur Batu Sangkar Tanah Datar, Syekh Muhammad Zein di Simabua, Batu Sangkar, Syekh H.Abdul Malik di Gobah, ladang Laweh.
Tahun 1927 beliau belajar di tanah suci. Disana beliau berguru kepada beberapa ulama di Masjidil haram seperti :
1. Syekh Muhammad Said Yamani (mufti Mazhab Syafii) mempelajari ilmu fiqh dalam mazhab Syafii dari kitab Al Mahally
2. Syekh Husen Al Hanafi (mufti mazhab Hanafi) mempelajari ilmu hadis dari kitab Shahih Bukhary.
3. Syekh Ali Al maliki (mufti mazhab maliki) mempelajari ilmu usul fiqh dari kitab Al furuq
4. Syekh Umar hamdan, darinya beliau mempelajari kitab Al Muwatha` karangan Imam Malik.
Beliau tinggal disana sampai tahun 1933. Tahun 1930 beliau diangkat menjadi staf sekretariat pada konsultan Nedherland di Arab Saudi. Pengetahuan agamanya yang sangat luas dan penguasaannya terhadap bahasa arab yang fasih mengantarkannya kejenjang nasional dan internasional di ranah politik perjuangan bangsa Indonesia.
Sekembali dari Makkah tahun 1933 beliau mengambil dan menerima macam-macam ilmu pengetahuan agama dari syekh Sulaiman Ar rasuli Cadung Bukit tinggi.
Selain itu beliau juga belajar bahasa inggris kepada seorang guru yang berasal dari Tapanuli yaitu Ali Basya. Tiga tahun pertama di kampung ia dikenal sebagai muballigh muda yang potensial sehingga menarik minat para ulama senior yang bergabung dalam persatuan Tarbiyah Indonesia, organisasi keagamaan satu satunya yang ada di Bukitinggi. Ketika berlangsung kongres ketiga organisasi tersebut di Bukit tinggi tahun 1936 tak ayal lagi beliau pun terpilih sebagai ketua umum Tarbiyah. Ternyata pilihan itu tidak salah, ditangan beliau Tarbiyah kian berkembang. Dan yang lebih penting mulai merambah bidang politik.
Tahun 1940 Tarbiyah mulai mengajukan usul kepada pemerintah colonial agar Indonesia bisa berparlemen. Usul tersebut diajukan melalui komisi Visman yang dibuka pemerintah kolonial untuk menjaring suara-suara kalangan bawah. Sepak terjang beliau mulai didengar oleh Bung karno. Pada saat ia ditahan oleh pemerintah Kolonial di Bengkulu dan dipersiapkan untuk dibuang ke Australia (1942). Namun entah mengapa, kapal yang digunakan untuk membawa Bung Karno terbakar. Bung Karno memanfaatkan sistuasi tersebut untuk melarikan diri hingga sampai ke Muko-muko. Dari Muko-muko ia melarikan diri ke Bukit tinggi dengan menggunakan sepeda motor yang diberikan seorang penduduk yang simpati padanya. Di Bukit tinggi ia segera menemui KH.Sirajuddin Abbas. Tentu saja KH.Sirajuddin kaget, tidak menduga akan kedatangan tokoh yang namanya sedang meroket ditengah tengah masyarakat kala itu. Bung Karno berpesan pada KH Sirajuddin Abbas agar Tarbiyah lebih berhati-hati karena Jepang akan menjajah Indonesia.” Jepang lebih berbahaya dari pada Belanda.”
12.000 personel Lasmi.
Proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945 yang dibacakan Bung Karno segera sampai ketelinga KH.Sirajuddin lewat radiao bawah tanah. Segera saja ia menyebarkan berita tersebut lewat selebaran setensilan hingga ke Pekanbaru.” Indonesia sudah merdeka, kita sudah berdaulat. Mari kita berjuang mempertahankan kemerdekaan sampai titik darah penghabisan.” Tulisnya dalam selebaran itu.
Pada saat wakil presiden Moh. Hatta mengeluarkan Maklumat No.X/1945 pada bulan November, yang isinya mendorong agar rakyat bergabung dalam partai politik dan dianjurkan membentuk partai politik demi tegaknya demokrasi. Hal ini mendorong KH.Sirajuddin untuk membuat partai yang berbasis Tarbiyah. Maka ia sebagai ketua Tarbiyah segera meminta izin kepada para pendiri dan sesepuh untuk mewujudkan niat beliau tersebut.
Gayung bersambut, mereka setuju. Dengan catatan jangan meninggalkan tugas pokok yaitu pendidikan, dakwah, kegiatan social keagamaan dan keummatan. Maka pada bulan Desember tahun 1945 ketika berlangsung kongres Tarbiyah keempat di Bungkit tinggi, diputuskan bahwa Persatuan Tarbiyah Islamiyah membuat satu partai dengan nama Partai Islam Tarbiyah Islamiyah disingkat PI Perti dan mengangkat KH.Sirajuddin sebagai ketua umumnya.
Sejak itulah kiprah beliau dibidang politik kian terbuka lebar. Badan Legislatif pun memberinya tempat. Mulai dari DPRD,DPR RIS, DPRS, dan DPR GR. Hal ini memaksa beliau hijrah ke Jakarta pada tahun 1950. Di Bukit tinggi beliau meninggalkan Lasykar Muslimin dan Muslimat Indonesia (Lasmi) yang digagasnya pada tahun 1948 guna memobilisir kekutan rakyat Sumatra barat untuk mempertahankan kesatuan Negara Republik Indonesia. Bahkan peresmianya dilakukan oleh Muhd.Nasir, seorang tokoh nasional yang berasal dari Sumatra barat yang kala itu menjabat sebagai mentri penerangan.
Maka pada ketika Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dibentuk oleh Syafruddin Prawiranegara di Padang lantaran presiden dan wakil presiden telah ditangkap, Perti pun ikut mendukung dengan mengerahkan kekuatan Lasmi yang beranggotakan 12.000 personel, untuk mengamankan dan melindungi kegiatan PDRI yang harus mobile karena kejaran Belanda. Ketika Komite Nasional Indonesia Pusat dibentuk, maka beliau pun tercatat sebagai salah satu anggotanya.
Isu palestina
Tahun 1951 tersebar isu bahwa kaum Zionis yahudi mengusir rakyat Palestina dari negerinya. KH.Sirajuddin Abbas sebagi anggota mengangkat isu tersebut kepermukaan, karena sejauh itu pemerintah tidak mengeluarkan statemen atau komentar apapun.
“Partai Islam Perti mendukung perjuangan rakyat palestina”. Orasinya di depan sidang parlemen. “rakyat Indonesia dan pemerintah Indonesia sebaiknya juga mendukung perjuangan rakyat palestina”.
Esoknya, hal itu menjadi berita utama di Koran Koran ibukota. Seminggu kemudian para ulama mendatangi beliau dan menyatakan simpatinya kepada Partai Islam Perti, sehingga partai yang belum lama hijrah keibukota ini menjadi dikenal oleh masyarakat luas.
Sekian lama hidup di tanah Arab memberi wawasan tentang palestina dan perjuangan rakyatnya dari ancaman kaum yahudi. Maka begitu terbetik berita pengusiran penduduk palestina oleh kaum yahudi, beliau memanfaatkan moment tersebut untuk membuka mata bangsa Indonesia terhadap perjuangan rakyat palestina. Sejak pidato itu ia mendapat simpati dari kalangan para ulama dan media selalu menyediakan halamannya untuk menampung berita tentang Palestina.
Berkahnya, PI Perti berkembang pesat di pulau jawa. Sehingga pada pemilu tahun 1955 PI Perti menduduki tempat kedelapan dari seluruh partai yang ikut pemilu. Sebelumnya, pada tahun 1954 KH.sirajuddin diangkat menjadi mentri kesejahteraan rakyat kabinet Ali sastroamijojo I.
Beliaulah yang menyampaikan gagasan kepada presiden Soekarno untuk menggelar Organisasi setiakawan rakyat Asia Afrika (OSRA). Bung Karno yang ketika itu sedang bersemangat dengan ide-ide menjungkalkan imperialisme dan kolonialisme menyambut baik ide tersebut dan memberikan fasilitas.
Sebagai pemakarsa beliau ditugasi untuk menghubungi dan mencari dukungan Negara-negara di Afrika. Pada kesempatan inilah beliau berkenalan dengan Anwar sadat yang pada saat itu menjabat sebagai ketua organisasi buruh Mesir. Maka pada bulan September tahun 1954 diadakanlah Konferensi OSRAA di Bandung dan terpilih sebagai ketua umum utusan dari Mesir.
Pada tahun 1958 beliau kembali meraih peluang emas. Kala itu, karena kehadiran Pemerintah revosional republic Indonesia (PRRI) yang dideklarasikan oleh Ahmad Husen di Padang. Menyadari bahwa PRRI menempatkan dirinya bersebrangan dengan pemerintah maka beliaupun menegaskan kepada presiden bahwa PI perti tidak setuju dengan PRRI.
Ketika Ahmad Yani ditunjuk untuk menumpas PRRI ia meminta nasehat Kh.Sirajuddin agar sesampainya di Padang supaya menemui Buya Sulaiman Ar Rasuli, ulama yang sangat dihormati masyarakat Sumatra barat. Berbekal saran dari ulama senior tersebut Ahmad Yani berhasil melaksanakan tugasnya.
Tahun 1959 tersiar berita bahwa belanda mengirim kapal induk karel Doorman keindonesia untuk membantu mempertahankan Irian barat. untuk bisa mencapai Indonesia dalam waktu singkat kapal itu harus melewati terusan suez di Mesir. Untuk mengantisipasi hal itu Presiden Sukarno mengutus KH Sirajuddin Abbas ke Mesir untuk membicarakan hal itu dengan presiden Gamal Abdul Naser agar melarang Belanda melewati terusan Suez.
Setibanya di Mesir beliau langsung menemui kawan lamanya Anwar sadat yang menjadi pemimpin organisasi buruh. Namun Anwar Sadat tidak dapat memberikan jalan. Namun ian mempersilahkan KH Sirajuddin untuk membicarakannya dengan Presiden Gamal Abdul Naser, untuk menemui sang kepala Negara Annwar dapat mengusahakannya.
Namun ternyata presiden Gamal Abdul Naser juga tidak dapat memberikan solusi. Masalahnya,kata presiden, terusan Suez berada dalam zone internasional. Yang bisa melarang kapal asing untuyk melewati terusan tersebut hanyalah para buruh di Suez yang bermarkas di Port Said. Dengan nada pesimis KH Sirajuddin mengutarakan hal tersebut kepada Anwar Sadat.
Ternyata Anwar justru melihat celah yang sangat baik dengan ide presidennya itu. Ia mendukung saran tersebut dan ikut menbantu merealisasikannya. Singkat cerita KH.Sirajuddin dapat bertemu dengan pemimpin organisasi buruh pelabuhan dan terusan itu dan dapat menyampaikan tugas yang beliau emban. Dihadapan buruh Terusan Suez beliau berpidato meminta dukungan agar mereka melarang lewatnya kapal induk Kareel Doorman yang akan berlayar menuju Indonesia melalui terusan tersebut.
‘’Indonesia sedang berjuang mengembalikan Irian Barat dari tangan penjajah belanda “ kata KH.Sirajuddin deang bahasa arab nyang fasih. “apalagi Karel Doorman bisa sampai ke Indonesia dalam waktu singkat, perjuangan bangsa Indonesia menjadi berat.
“Sebagai Negara yang bersahabat, apalagi Mesir merupakan Negara yang pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia, bantuan yang diharapakan kali ini akan bermakna positif bagi perjuangan bangsa Indonesia”. Demikian orasi kiai asal Bukit Tinggi itu dengan semangat tinggi.
Ternyata sambutan mereka sangat positif, maka Karel Doorman pun dilarang melewati terusan tersebut. Dengan adanya sikap kaum buruh terusan suez itu, Presiden Gamal Abdul Naser tanpa berpikir panjang lagi segera memberikan dukungan.
Tahun penuh fitnah.
Semakin tinggi satu pohon semakin kencang angina yang menerpanya. Ibarat itulah yang tepat untuk menggambarkan kondisi KH.Sirajuddin Abbas pada sekitar tahun 1965.
Ketika dewan revolusi yang memotori kudeta G 30 S, memperkenalkan diri melalui corong RRI, nama KH.Sirajuddin tercantum sebagai anggota. Padahal kala itu beliau sedang berobat dirumah sakit Suci, ditepi laut Hitam yang masuk dalam wilayah Uni Soviet. Kehadiran beliau di negeri tersebut adalah atas bantuan Anwar Sadat. Kala itu persahabatan Mesir dengan Uni Soviet sedang erat-eratnya, begitu pula dengan Indonesia. Alhasil beliaupun dicap sebagi PKI.
Bantahan yang dikeluarkan oleh Gerakan Mahasiswa Islam Indonesia (Germahi) yang merupakan organisasi sayap mahasiswa PERTI, bahwa KH.Sirajuddin Abbas tidak tahu menahu tentang hal tersebut nyaris tidak berfaedah, karena tertelan oleh hiruk piruk Nasakom yang sedang dikibarkan oleh Bung Karno.
Fitnah berikutnya adalah adanya “Dokumen Cianjur” yang menyebutkan bahwa bila terjadi clash antara ABRI dengan PKI maka seluruh jajaran PERTI harus membantu PKI. Akibatnya KH.Sirajuddin diciduk dan ditahan di markas Kodam V Jaya selama 40 hari.
Tidak hanya itu juga ditemukan seribu setel pakaian loreng dan uang sekian puluh juta rupiah dirumah Sofyan siraj (anak sulung KH.Sirajuddin) di Jln.Dempo, Matraman. Sama seperti yang ditemukan di rumah D.N Aidit, ketua umum PKI. Penemuan ini dianggap sebagai petunjuk adanya kerjasama antara KH.Sirajuddin dengan Aidit.
Meski kemudian dapat dibuktikan bahwa dokumen Cianjur itu palsu dan nama baik KH. Sirajuddin direhabilitasi oleh pemerintah yang ditandatangani oleh Amir Mahmud (Laksuda Jaya), kurang begitu berpengaruh, karena koran-koran tidak ada yang bersedia memuatnya. Tudingan miring itu melekat pada beliau hingga ketika buku beliau yang berjudul I`tiqad Ahlussunnah wal jama`ah terbit muncul komentar “ ini orang PKI kok menulis buku agama”.
Dalam kasus Dokumen Cianjur, dua orang pengurus PERTI cabang Cianjur Zainuddin dan Yaqub juga kena getahnya. Kepada interrogator Laksusda setempat kedua bersikukuh bahwa dokumen itu palsu dan bersedia ditembak untuk mempertahankan pendiriannya. Mereka minta agar sebelum dieksekusi mereka diizinkan mengumandangkan azan dan tembakan itu tepat dilepaskan ketika sampai pada kalimat “Hayya `alal falah”. Namun ketika azan selesai mereka berdua mersakan suasana yang hening dan sunyi. Beberapa detik kemudian ketika mereka memberanikan diri mereka membuka penutup mata, ternyata para penembvak itu telah pingsan, SubhanALLAH
Mereka kemudian melarikan diri kearah Cianjur dan ketika sampai dikantor PERTI, hal itu mereka utarakan kepada KH.Sirajuddin. “ Masya ALLAh, semoga Allah memberkahi kalian berdua”, Komentar KH.Sirajuddin.
Tahun 1965 merupakan batas kiprah beliau memimpin PERI. Atas saran anak – anak muda PERTI, Buya Siraj, begitu beliau akrab dipanggil, lebih mencurahkan perhatian beliau dalam penulisan-penulisan buku agama. Anak-anak muda Perti yang merasa kuarang memahami soal Ahlussunnah waljamaah meminta beliau untu menulis sebuah buku yang bias menjadi pegangan bagi mereka. KH. Sirajuddin Abbas yang kala itu sudah berumur 60 tahun memenuhi permintaan itu. Dua tahun kemudian terbitlah buku I`tiqad Ahlussunnah wal jama`ah dan sejarah Keagungan Mazhab Imam Syafii. Untuk modal menerbitkan buku tersebut beliau rela menjual rumahnya di Jln.Dempo, dan pindah ke Jln.Tebet Barat kecil.
Ternyata buklu tersebut laris manis. Departemen agama pun memesan untuk keperluan IAIN. Walau demikian sebagian besar justru beliau bagikan secara gratis. NU menjadikan buku itu senbagi pedoman.
Beberapa tahun kemudian terbitlah buku 40 masalah agama sebanyak 4 jilid besar. Untuk kali ini beliau pun rela menjual rumahnya untuk modal penerbitan buku tersebut. Retakhir beliau menempati rumah di Jln.Melati Utara (kini Tebet Barat).
Buya Siraj wafat tanggal 23 ramadhan 1400 H atau 5 agustus 1980 setelah beberapa hari dirawat di RS Cipto Mangunkusumo lantaran serangan jantung. Saat pemakaman tampak perhatian warga Tarbiyah begitu besar. Jasad beliau dimakamkan dipemakman Tanah Kusir Jakarta Selatan Hadir pula wakil presiden Adam Malik. Beliau meninggalkan seorang istri dan dua anak Sofyan (almarhum) dan Fuadi.
Selain sebagi kutua umum Tarbiyah beliau juga merupakan pendiri organisasi politi “Liga Muslim Indonesia” bersama sama KH.Wahid Hasyim (wakil dari NU), Abikusno Cokrosuyono (wakil dari PSII).
Beliau banyak meninggalkan tulisan diantaranya:
1. I`tiqad Ahlussunnah wal jamaah.
Sebuah buku yang berisi tentang faham Ahlussunnah dan beberapa firqah-firqah lainnya.
2. 40 Masalah Agama
Sebuah buku yang terdiri dari empat jilid menjelaskan 40 macam masalah agama yang sedang berkembang dewasa itu. Dalam buku ini beliau juga menerangkan tentang gerakan modernisasi agama oleh orang-orang yang ingin memperbarui Islam dengan paham mereka. Beberapa tokoh yang beliau masukkan kedalam golongan ini antara lain Ibnu Taymiyah, Muhammad Abduh, Muhammad bin Abdul Wahab (pendiri wahaby), Mirza Ghulam Ahmad, Mustafa kemal At Taruk dan juga presiden RI pertama Soekarno.
3. Kumpulan soal-jawab keaagamaan (sebuah buku berisi jawaban-jawaban dari beberapa pertanyaan seputar agama)
4. Thabaqatusy Syafi`iyah (Ulama Syafii dan kitabnya dari abad kea bad)
5. kitab fiqh ringkas
6. Sorotan atas terjemahan Al Quran oleh HB.Jassin
7. Sirajur Munir (Fiqh 2 jilid)
8. Bidayatul Balaghah (Bayan)
9. Khulasah Tarikh Islam
10. Ilmul Insya` 1jilid
11. Sirajul bayan fi Fahrasatil Ayatil Al quran
12. Ilmun Nafs 1 jilid
Tulisan beliau no 7-12 adalah karangan beliau dalam bahasa arab.
Ditulis oleh Mursyid A.Rahman Aly Langsa dikutip dari majalah Al kisah No.19/tahunVI/8-21 september 2008 dan sumber lainnya
Posted in Biografi Ulama Nusantara | 1 Comment

Biografi Sayyid Sulaiman Betek Mojoagung Jombang

Sekitar pertengahan abad ke-16 Masehi tersebutlah seorang pemuda gagah berdarah Arab di tepi barat pulau Jawa, Cirebon. Selama beberapa bulan ia berlayar dari kampung halamannya di negara Yaman. Saat itu memang sedang gencar-gencarnya orang-orang Arab berimigrasi ke tanah Jawa. Dan salah satunya adalah kakek Mbah Sayid Sulaiman, tokoh yang disebut di awal tulisan ini.
Orang-orang Arab ini datang dengan maksud bermacam-macam. Ada yang berdakwah untuk menyebarkan agama Islam, ada pula yang berniaga seraya berdakwah. Pemuda itu bernama Abdurrahman. Ia adalah seorang Sayid keturunan Rasulullah yang bergelar Basyaiban. Basyaiban adalah gelar warga habib keturunan Sayid Abu Bakar Syaiban, seorang ulama terkemuka di Tarim, Hadramaut, yang terkenal alim dan sakti. Continue reading
 
 

Jumat, 20 Februari 2015

KH.Nawawi Abdul Azizi Al-Hafidz

 
KH. Nawawi Abdul Aziz lahir pada tahun 1925. Beliau merupakan putra kedua dari Al Maghfurlah KH. Abdul Aziz, seorang petani yang tinggal di pelosok desa di daerah Kawedanan yang terkenal yaitu Kutoarjo tepatnya di desa Tulusrejo Grabag Kutoarjo Purworejo Jawa Tengah.
Karir keilmuan Beliau dirintis sejak beliau berumur tujuh tahun. Hari-hari beliau selalu dihiasi dengan berbagai kegiatan Tholabul ‘ilmi. Pagi hari Beliau belajar di Sekolah Dasar ( SR-red ) dan sorenya Beliau mengikuti Madrasah Diniyah Al Islam Jono. Sedangkan pada malam hari, Beliau mengaji Al Qur’an kepada sang Ayah dan juga beberapa disiplin ilmu seperti Ilmu Fiqh dan Ushuluddin.
Setelah Beliau berumur 13 tahun, Beliau meneruskan pengembaraannya ke Pondok Pesantren Lirap Kebumen Jawa Tengah untuk mengaji Ilmu Alat kepada Al Maghfurlah KH. Anshori selama 4 tahun. Kemudian setelah dirasa cukup, Beliau ditarik oleh Orang tua Beliau untuk selanjutnya diantar bersama kakak ke Pondok Pesantren Tugung Banyuwangi di bawah asuhan Al Maghfurlah KH. Abbas yang pada saat itu Indonesia masih dijajah oleh Jepang.
Setelah beberapa tahun menimba ilmu di sana, seperti Pemuda yang lainnya, Beliau merasa ingin sekali pulang ke kampung halaman sekedar melepaskan rasa rindu kepada keluarga. Untuk itulah, dua bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dikumandangakan, beliau pulang ke Kutoarjo. Tetapi bak pepatah, “ untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak ”, sebelum Beliau sempat kembali ke Pondok, serdadu Belanda dengan membonceng tentara Inggris mendarat di Surabaya dan menjarah Jawa TImur. Maka pupuslah harapan untuk kembali ke Pondok dan terpisahlah Beliau dengan Kakak yang masih di Banyuwangi. 
Keadaan telah berubah, seluruh kitab yang dimiliki Beliau tertinggal di Banyuwangi. Tetapi hal tersebut tidak membuat Beliau patah semangat bahkan sebaliknya, Beliau semakin semangat dalam menuntut ilmu yang Beliau wujudkan dengan kembali mondok untuk menghafalkan Al Qur’an ke sebuah Pondok Pesantren di Yogyakarta tepatnya di Pondok Krapyak yang didirikan oleh Al Maghfurlah KH. Munawwir yang pada saat itu diasuh oleh Al Maghfurlah KH. R Abdul Qodir Munawwir. Nasehat, tausiah dan irsyad dari Al Maghfurlah KH.R Abdul Qodir M Beliau ikuti dan patuhi dengan ikhlas dan tekun, sehingga dalam waktu tiga bulan, Beliau berhasil menghafal tujuh juz setengah dengan hafalan yang sangat baik. Disaat Beliau sedang menikmati dan melatih keistiqomahan diri dalam menghafal dan menjaga Al Qur’an, tanpa diduga terdengar berondongan peluru mitraliur yang menghujani langit Yogyakarta yang disertai dengan diterjunkannya pasukan Belanda di lapangan terbang Maguo ( kini Adisucipto ) sebagai tanda dimulainya class kedua ( duurstuud ). Hari itu pula Beliau dan ketujuh orang temannya pulang ke kampung halaman ( Kutoarjo ) dengan berjalan kaki. Di rumah, Beliau tetap menjaga hafalan Al Qur’an yang telah didapat dan menambah hafalan walaupun harus ikut serta membantu para gerilyawan.
Setelah Yogayakarta aman kembali ( sekitar enam bulan ), Beliau kembali ke Krapyak untuk melajutkan tekatnya. Dengan berkat rahmat dari Allah SWT disertai dengan anugrah keistiqomahan yang Beliau miliki, Beliau mampu menyelesaikan hafalan dalam 15 bulan dengan hasil yang sangat memuaskan sehingga wajar saja jika Guru Beliau sangat menyayangi Beliau, bahkan sebagai puncak dari kasih sayang tersebut, Beliau diamanahi untuk menikahi adik sang Guru ( Al Maghfurlah KH.R Abdul Qodir Munawwir ) yang bernama Ibu Nyai Hj. Walidah Munawwir ( putri dari Al Maghfurlah KH Munawwir Pendiri Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta ).
Pengembaraan beliau tidak berhenti sampai di sini, setelah mendapat restu dari sang Guru sekaligus Kakak, pada hari ketujuh puluh dari hari kelahiran putra pertamanya, Beliau berangkat ke Pondok Pesantren Yanbu’ul Qur'an Kudus untuk mengaji Al Qur’an dengan Qiroah As Sab’ah kepada Al Maghfurlah KH. Arwani Amin. Pada tahun 1955 M beliau berhasil menyelesaikan pelajaran dengan baik dan menerima Syahadah/Ijazah khatam mengaji Qiro’ah As Sab’ah secara hafalan kepada Al Maghfurlah KH. Arwani Amin Kudus.
Setelah selesai belajar di Kudus, Beliau memutuskan untuk kembali ke Kutoarjo untuk mengajarkan ilmu yang pernah didapat dan juga untuk membantu Orang tua yang telah menapaki usia senja. Di sana Beliau membuka pengajian Al Qur’an dan Madrasah Ibtidaiyah kelas I yang hanya dibantu oleh seorang tenaga pengajar sekaligus sebagai pengurusnya. Keterbatasan pengajar, tidaklah menjadi halangan bagi Beliau untuk berjuang dalam menyebarkan ilmu Agama. Beliau mensiasatinya dengan mengkader semua siswa sehingga siswa-siswi yang duduk di kelas IV sudah mampu untuk mengajar adik-adik kelas satu dan dua.

KH.R Abdul Qodir Munawwir pemegang tampuk kepemimpinan Pondok Krapyak wafat, yang kemudian digantikan oleh KH.R Abdullah Affandi Munawwir . Pada saat itulah Beliau ( KH. Nawawi Abdul Aziz ) dipanggil untuk membantu mengajarkan Al Qur’an di Pondok Pesantren Krapyak, Bersama dengan Al Maghfurlah KH. Mufid Mas’ud ( Pengasuh Pondok Pesantren Sunan Pandanaran ) dan Al Maghfurlah KH. Ali Ma’sum. Pembagian tugas dilakukan oleh KH.R Abdullah Affandi Munawwir sebagai pengasuh utama, KH. Ali Ma’sum bertanggungjawab atas pengajaran kitab sedangkan Beliau dan KH. Mufid Mas’ud memegang pengajaran Al Qur’an.
Setelah dua tahun tinggal di Krapyak, timbullah keinginan untuk pindah ke Dusun Ngrukem guna lebih dekat dari tempat Beliau berkerja sebagai Ketua Hakim Pengadilan Agama Bantul dan juga didorong oleh keinginan untuk mendirikan Pondok Pesantren sendiri, dan berkat Ridlo dari Allah SWT, beliau mampu mewujudka cita-cita Beliau untuk membangun Pondok Pesantren yang sampai saat ini masih eksis berdiri. Sekarang umur beliau telah mencapai 83 tahun dan telah dikaruniai 11 putra/putri dan 49 cucu serta 1 buyut, walaupun demikian Allah SWT masih meberikan nikmat sehat yang begitu besar sehingga di usianya yang senja Beliau masih kuat dalam membimbing sekitar 700 santri untuk mencapai derajat yang mulia secara langsung. Allahumma thowwil ‘umrohu wa shohhih jasadahu linantafi’a bi’ulumihi wa hikamihi. Amin.

Selasa, 17 Februari 2015

Biografi KH Muhammad Dimyati Pandeglang Banten



Biografi KH Muhammad Dimyati
 KH Muhammad Dimyati atau dikenal dengan Abuya Dimyati adalah sosok yang kharismatis. Beliau dikenal sebagai pengamal tarekat Syadziliyah dan melahirkan banyak santri berkelas. Mbah Dim begitu orang memangilnya.
Nama lengkapnya
Muhammad Dimyati bin Syaikh Muhammad Amin. Dikenal sebagai ulama yang sangat kharismatik. Muridnya ribuan dan tersebar hingga mancanegara. Abuya dimyati orang Jakarta biasa menyapa, dikenal sebagai sosok yang sederhana dan tidak kenal menyerah. Hampir seluruh kehidupannya didedikasikan untuk ilmu dan dakwah.
Menelusuri kehidupan ulama Banten ini seperti melihat warna-warni dunia sufistik. Perjalanan spiritualnya dengan beberapa guru sufi seperti Kiai Dalhar Watucongol. Perjuangannya yang patut diteladani. Bagi masyarakat Pandeglang Provinsi Banten Mbah Dim sosok sesepuh yang sulit tergantikan. Lahir sekitar tahun 1919 dikenal pribadi bersahaja dan penganut tarekat yang disegani.
Abuya Dimyati juga kesohor sebagai guru pesantren dan penganjur ajaran Ahlusunah Wal Jama’ah. Pondoknya di Cidahu, Pandeglang, Banten tidak pernah sepi dari para tamu maupun pencari ilmu. Bahkan menjadi tempat rujukan santri, pejabat hingga kiai. Semasa hidupnya, Abuya Dimyati dikenal sebagai gurunya dari para guru dan kiainya dari para kiai. Masyarakat Banten menjuluki beliau juga sebagai pakunya daerah Banten. Abuya Dimyati dikenal sosok ulama yang mumpuni. Bukan saja mengajarkan ilmu syari’ah tetapi juga menjalankan kehidupan dengan pendekatan tasawuf. Abuya dikenalsebagai penganut tarekat Naqsabandiyyah Qodiriyyah.
Tidak salah kalau sampai sekarang telah mempunyai ribuan murid. Mereka tersebar di seluruh penjuru tanah air bahkan luar negeri. Sewaktu masih hidup , pesantrennya tidak pernah sepi dari kegiatan mengaji. Bahkan Mbah Dim mempunyai majelis khusus yang namanya Majelis Seng. Hal ini diambil Dijuluki seperti ini karena tiap dinding dari tempat pengajian sebagian besar terbuat dari seng. Di tempat ini pula Abuya Dimyati menerima tamu-tamu penting seperti pejabat pemerintah maupun para petinggi negeri. Majelis Seng inilah yang kemudian dipakainya untuk pengajian sehari-hari semenjak kebakaran hingga sampai wafatnya.
Lahir dari pasangan H.Amin dan Hj. Ruqayah sejak kecil memang sudah menampakan kecerdasannya dan keshalihannya. Beliau belajar dari satu pesantren ke pesantren seperti Pesantren Cadasari, Kadupeseng Pandeglang. Kemudian ke pesantren di Plamunan hingga Pleret Cirebon.
Abuya berguru pada ulama-ulama sepuh di tanah Jawa. Di antaranya Abuya Abdul Chalim, Abuya Muqri Abdul Chamid, Mama Achmad Bakri (Mama Sempur), Mbah Dalhar Watucongol, Mbah Nawawi Jejeran Jogja, Mbah Khozin Bendo Pare, Mbah Baidlowi Lasem, Mbah Rukyat Kaliwungu dan masih banyak lagi. Kesemua guru-guru beliau bermuara pada Syech Nawawi al Bantani. Kata Abuya, para kiai sepuh tersebut adalah memiliki kriteria kekhilafahan atau mursyid sempurna, setelah Abuya berguru, tak lama kemudian para kiai sepuh wafat.
Kata Abuya, para kiai sepuh tersebut adalah memiliki kriteria kekhilafahan atau mursyid sempurna disamping sebagai pakunya negara Indonesia. Setelah Abuya berguru, tak lama kemudian para kiai sepuh wafat.
Ketika mondok di Watucongol, Abuya sudah diminta untuk mengajar oleh Mbah Dalhar. Satu kisah unik ketika Abuya datang pertama ke Watucongol, Mbah Dalhar memberi kabar kepada santri-santri besok akan datang ‘kitab banyak’. Dan hal ini terbukti mulai saat masih mondok di Watucongol sampai di tempat beliau mondok lainya, hingga sampai Abuya menetap, beliau banyak mengajar dan mengorek kitab-kitab. Di pondok Bendo, Pare, Abuya lebih di kenal dengan sebutan ‘Mbah Dim Banten’. Karena, kewira’iannya di setiap pesantren yang disinggahinya selalu ada peningkatan santri mengaji.
Semasa hidupnya, Abuya Dimyati dikenal sebagai gurunya dari para guru dan kiainya dari para kiai. Masyarakat Banten menjuluki beliau juga sebagai pakunya daerah Banten.
Saking pentingnya ngaji dan belajar, satu hal yang sering disampaikan dan diingatkan Mbah Dim adalah: “Jangan sampai ngaji ditinggalkan karena kesibukan lain atau karena umur”. Pesan ini sering diulang-ulang, seolah-olah Mbah Dim ingin memberikan tekanan khusus; jangan sampai ngaji ditinggal meskipun dunia runtuh seribu kali!
Salah satu cerita karomah yang diceritakan Gus Munir adalah, dimana ada seorang kyai dari Jawa yang pergi ke Maqam Syeikh Abdul Qadir al-Jailani di Irak. Ketika itu, kyai tersebut merasa sangat bangga karena banyak kyai di Indonesia paling jauh mereka ziarah adalah maqam Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi dia dapat menziarahi sampai ke Maqam Syeikh Abdul Qadir al-Jailani. ketika sampai di maqam tersebut, maka penjaga maqam bertanya padanya, “darimana kamu (Bahasa Arab)”.
si Kyai menjawab, “dari Indonesia”.
maka penjaganya langsung bilang, “oh di sini ada setiap malam Jum’at seorang ulama Indonesia yang kalau datang ziarah dan duduk saja depan maqam, maka segenap penziarah akan diam dan menghormati beliau, beliau membaca al-Qur’an, maka penziarah lain akan meneruskan bacaan mereka.”
Maka Kyai tadi kaget, dan berniat untuk menunggu sampai malam Jum’at agar tahu siapa sebenarnya ulama tersebut. Ternyata pada hari yang ditunggu-tunggu, ulama tersebut adalah Abuya Dimyati. Maka kyai tersebut terus kagum, dan ketika pulang ke Jawa, dia menceritakan bagaimana beliau bertemu Abuya Dimyati di maqam Syeikh Abdul Qadir al-Jailani (ketika itu Abuya masih di pondok dan mengaji dengan santri-santrinya).
Di balik kemasyhuran nama Abuya, beliau adalah orang yang sederhana dan bersahaja. Kalau melihat wajah beliau terasa ada perasaan ‘adem’ dan tenteram di hati orang yang melihatnya.
Abuya Dimyathi menempuh jalan spiritual yang unik. Beliau secara tegas menyeru: “Thariqah aing mah ngaji!” (Jalan saya adalah ngaji). Sebab, tinggi rendahnya derajat keulamaan seseorang bisa dilihat dari bagaimana ia memberi penghargaan terhadap ilmu. Sebagaimana yang termaktub dalam surat al-Mujadilah ayat 11, bahwa Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan. Dipertegas lagi dalam hadits nabi al-Ulama’u waratsatul anbiya’, para ulama adalah pewaris para nabi.
Ngaji sebagai sarana pewarisan ilmu. Melalui ngaji, sunnah dan keteladanan nabi diajarkan. Melalui ngaji, tradisi para sahabat dan tabi’in diwariskan. Ahmad Munir berpendapat bahwa ilmu adalah suatu keistimewaan yang menjadikan manusia unggul atas makhluk lain guna menjalankan fungsi kekhalifahannya.
Alam Spritual
Dibanding dengan ulama kebanyakan, Abuya Dimyati ini menempuh jalan spiritual yang unik. Dalam setiap perjalanan menuntut ilmu dari pesantren yang satu ke pesantren yang lain selalu dengan kegiatan Abuya mengaji dan mengajar. Hal inipun diterapkan kepada para santri. Dikenal sebagai ulama yang komplet karena tidak hanya mampu mengajar kitab tetapi juga dalam ilmu seni kaligrafi atau khat. Dalam seni kaligrafi ini, Abuya mengajarkan semua jenis kaligrafi seperti khufi, tsulust, diwani, diwani jally, naskhy dan lain sebagainya. Selain itu juga sangat mahir dalam ilmu membaca al Quran.
Bagi Abuya hidup adalah ibadah. Tidak salah kalau KH Dimyati Kaliwungu, Kendal Jawa Tengah pernah berucap bahwa belum pernah seorang kiai yang ibadahnya luar biasa. Menurutnya selama berada di kaliwungu tidak pernah menyia-nyiakan waktu. Sejak pukul 6 pagi usdah mengajar hingga jam 11.30. setelah istirahat sejenak selepas Dzuhur langsung mengajar lagi hingga Ashar. Selesai sholat ashar mengajar lagi hingga Maghrib. Kemudian wirid hingga Isya. Sehabis itu mengaji lagi hingga pukul: 24 malam. Setelah itu melakukan qiyamul lail hingga subuh.
Di sisi lain ada sebuah kisah menarik. Ketika bermaksud mengaji di KH Baidlowi, Lasem. Ketika bertemu dengannya, Abuya malah disuruh pulang. Namun Abuya justru semakin menggebu-gebu untuk menuntut ilmu. Sampai akhirnya kiai Khasrtimatik itu menjawab, “Saya tidak punya ilmu apa-apa.”
Sampai pada satu kesempatan, Abuya Dimyati memohon diwarisi thariqah. KH Baidlowio pun menjawab,”Mbah Dim, dzikir itu sudah termaktub dalam kitab, begitu pula dengan selawat, silahkan memuat sendiri saja, saya tidak bisa apa-apa, karena tarekat itu adalah sebuah wadzifah yang terdiri dari dzikir dan selawat.” Jawaban tersebut justru membuat Abuya Dimyati penasaran. Untuk kesekian kalinya dirinya memohon kepada KH Baidlowi. Pada akhirnya Kiai Baidlowi menyuruh Abuya untuk sholat istikharah. Setelah melaksanakan sholat tersebut sebanyak tiga kali, akhirnya Abuya mendatangi KH Baidlowi yang kemudian diijazahi Thariqat Asy Syadziliyah.
Abuya Dimyati Dipenjara
Mah Dim dikenal seagai salah satu orang yang sangat teguh pendiriannya. Sampai-sampai karena keteguhannya ini pernah dipenjara pada zaman Orde Baru. Pada tahun 1977 Abuya sempat difitnah dan dimasukkan ke dalam penjara. Hal ini disebabkan Abuya sangat berbeda prinsip dengan pemerintah ketika terjadi pemilu tahun tersebut. Abuya dituduh menghasut dan anti pemerintah. Abuya pun dijatuhi vonis selama enam bulan. Namun empat bulan kemudian Abuya keluar dari penjara.
Ada beberapa kitab yang dikarang oleh Abuya Dimyati. Diantaranya adalah Minhajul Ishthifa. Kitab ini isinya menguraikan tentang hizib Nashr dan hizib ikhfa. Dikarang pada bulan Rajab H 1379/1959 M. Kemudian kitab Ashlul Qodr yang didalamya khususiyat sahabat saat perang Badr. Tercatat pula kitab Roshnul Qodr isinya menguraikan tentang hizib Nashr. Rochbul Qoir I dan II yang juga sama isinya yaitu menguraikan tentang hizib Nashr. Selanjutnya kitab Bahjatul Qolaid, Nadzam Tijanud Darori. Kemudian kitab tentang tarekat yang berjudul Al Hadiyyatul Jalaliyyah didalamnya membahas tentang tarekat Syadziliyyah.
Abuya Dimyati Dan Mbah Latifah El Dalhar
Ada cerita-cerita menarik seputar Abuya dan pertemuannya dengan para kiai besar. Disebutkan ketika bertemu dengen Kiai Dalhar Watucongol Abuya sempat kaget. Hal ini disebabkan selama 40 hari Abuya tidak pernah ditanya bahkan dipanggil oleh Kiai Dalhar. Tepat pada hari ke 40 Abuya dipanggil Mbah Dalhar. “Sampeyan mau apa jauh-jauh datang ke sini?” tanya kiai Dalhar.
Ditanya begitu Abuya pun menjawab, “Saya mau mondok mbah.”
Kemudian Kiai Dalhar pun berkata, ”Perlu sampeyan ketahui, bahwa disini tidak ada ilmu, justru ilmu itu sudah ada pada diri sampeyan. Dari pada sampeyan mondok di sini buang-buang waktu, lebih baik sampeyan pulang lagi ke Banten, amalkan ilmu yang sudah ada dan syarahi kitab-kitab karangan mbah-mbahmu. Karena kitab tersebut masih perlu diperjelas dan sangat sulit dipahami oleh orang awam.”
Mendengar jawaban tersebut Abuya Dimyati menjawab, ”Tujuan saya ke sini adalah untuk mengaji, kok saya malah disuruh pulang lagi? Kalau saya disuruh mengarang kitab, kitab apa yang mampu saya karang?”
Kemudian Kiai Dalhar memberi saran,”Baiklah, kalau sampeyan mau tetap di sini, saya mohon ajarkanlah ilmu sampeyan kepada santri-santri yang ada di sini dan sampeyan jangan punya teman.” Kemudian Kiai Dalhar memberi ijazah tareqat Syadziliyah kepada Abuya.
Karomah Abuya Dimyati
Salah satu cerita karomah yang diceritakan Gus Munir adalah, dimana ada seorang kyai dari Jawa yang pergi ke Maqam Syeikh Abdul Qadir al-Jailani di Irak. Ketika itu, kyai tersebut merasa sangat bangga karena tak banyak kyai di Indonesia yang mengunjungi Irak, paling jauh mereka ziarah adalah makam Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi dia dapat menziarahi sampai ke Maqam Syeikh Abdul Qadir al-Jailani. ketika sampai di maqam tersebut, maka penjaga makam bertanya padanya, “darimana kamu (Bahasa Arab)”.
Si Kyai menjawab, “dari Indonesia”.
Maka penjaganya langsung bilang, “oh di sini ada setiap malam Jum’at seorang ulama Indonesia yang kalau datang ziarah dan duduk saja depan maqam, maka segenap penziarah akan diam dan menghormati beliau, beliau membaca al-Qur’an, maka penziarah lain akan meneruskan bacaan mereka.”
Maka Kyai tadi kaget, dan berniat untuk menunggu sampai malam Jum’at agar tahu siapa sebenarnya ulama tersebut. Ternyata pada hari yang ditunggu-tunggu, ulama tersebut adalah Abuya Dimyati.
Maka kyai tersebut terus kagum, dan ketika pulang ke Jawa, dia menceritakan bagaimana beliau bertemu Abuya Dimyati di maqam Syeikh Abdul Qadir al-Jailani (ketika itu Abuya masih di pondok dan mengaji dengan santri-santrinya).
Di balik kemasyhuran nama Abuya, beliau adalah orang yang sederhana dan bersahaja. Kalau melihat wajah beliau terasa ada perasaan ‘adem’ dan tenteram di hati orang yang melihatnya.
Abuya Dimyati Wafat
Abuya Dimyati meninggalkan kita semua pada Malam Jumat pahing, 3 Oktober 2003 M/07 Sya’ban 1424 H, sekitar pukul 03:00 wib umat Muslim, khususnya warga Nahdlatul Ulama telah kehilangan salah seorang ulamanya, KH. Muhammad Dimyati bin KH. Muhammad Amin Al-Bantani, di Cidahu, Cadasari, Pandeglang, Banten dalam usia 78 tahun. Semoga amal ibadah beliau di terima oleh Allah SWT dan semoga kesalahan-kesalahan beliau juga di ampuni oleh Allah SWT. Aamiin Yaa Rabbal ‘Aalamiin…. Semoga blog kumpulan biografi ulama ini bisa bermanfaat umumnya untuk Anda dan khususnya untuk saya pribadi.

Jumat, 13 Februari 2015

Kiai Abdul Halim leuwimunding





http://www.nu.or.id/onefiles/nu_or_id/dinamic/mid/1421933994.jpg
Seorang alim dari Jawa Barat yang menjadi salah satu pendiri NU awal. Namanya terabadikan dalam dokumen kepengurusan NU. Setelah jam'iyyah ini didirikan pada 26 Januari 1926, menjabat sebagai Katib Tsani (Katib Awwal dijabat KHWahab Hasbullah). Selain dirinya, semua pengurus NU awal itu adalah tokoh-tokoh Jawa Tengah dan Jawa Timur (termasuk Madura).
Ia juga dipandang sebagai satu-satunya pendiri NU yang saat itu belum memiliki pesantren. Nama Abdul Halim selalu dikaitkan dengan Leuwimunding, untuk membedakan nama Abdul Halim lain yang juga berasal dari daerah yang sama. Abdul Halim yang lain ini adalah pendiri Persyarikatan Ulama yang berpusat di Majalengka.
Abdul Halim Leuwimunding sering dikelirukan dengan Abdul Halim yang menjadi pendiri Persyarikatan Ulama itu. Padahal, keduanya berbeda, meskipun sama-sama pernah ke Makkah dan bahkan hingga saat ini dimajalengka Nama Abdul Halim yang jadi nama jalan dikota hanya tokoh PUI saja.
Leuwimunding adalah nama sebuah desa yang di masa lalu merupakan kawedanan yang membawahi dukuh-dukuh Leuwimunding. Lebak (Leuwikujang), Cirabat (Mirat), dan Cibatur/Nyebrak (Ciparay). Sekarang,Leuwimunding nama kecamatan dengan 14 desa, dan diantaranya Desa Leuwimunding sendiri, yang semuanya berbahasa Sunda kecuali satu desa yang menggunakan Bahasa Jawa, yaitu Desa Patuanan. Secara harfiah, nama Leuwimunding berarti "danau tempat minumnya kerbau", karena di masa lalu,tempat ini adalah hutan yang terdapat danau yang dijadikan tempat minum satwa liar, termasuk kerbau.
Dari Makkah ke Tebuireng
Abdul Halim Leuwimunding dilahirkan pada Juni 1898 dari pasangan Mbah Kedung Wangsagama dan Nyai Santamah. Para buyutnya adalah tokoh-tokoh setempat, yaitu Buyut Kreteg, Buyut Liuh, dan Buyut Kedung Kertagam. Setelah itu, Abdul Halim belajar mengaji di Pesantren Trajaya Majalengka, kemudian meneruskan ke Pesantren Kedungwuni, Majalengka, dan dilanjutkan di Pesantren Kempek, Cirebon.
Sebagaimana tokoh-tokoh di masanya yang berkelana sampai Makkah untuk menuntut ilmu, Abdul Halim juga menempuh hal yang sama. Ini dilakukan ketika ia baru berusia 16 tahun, yaitu pada sekitar tahun 1914.
Sebelumnya dua pamannya telah berada di sana, yaitu H. Ali dan H. Jen. Di Makkah Abdul Halim bertemu dan berkawan baik dengan K.H.Abdul Wahab Hasbullah. Ia kemudian pulang ke tanah asalnya pada 1917, dan satu tahun kemudian ia mencari ilmu di pesantren yang ada di Jawa Timur.
Abdul Halim memutuskan berangkat ke Tebuireng, Jombang, yang saat itu diasuh oleh kiai yang sangat dihormati di seluruh Jawa dan Madura yaitu K.H. Hasyim Asy'ari. Dengan demikian, sejak awal Abdul Halim sudah memiliki jaringan dengan pendiri NU, baik dengan K.H. Abdul Wahab maupun K.H. Hasyim Asy'ari. Abdul Halim kemudian menjadi salah satu peserta diskusi-diskusi dalam perbincangan pendirian NU, dan salah seorang yang hadir dalam pendirian NU pada 31 Januari 1926 atau 16 Rajab 1344 H di Kertopaten, Surabaya. Ia sendiri kemudian mendapat kehormatan untuk menjabat sebagai Katib Tsani dalam kepengurusan NU awal itu.
Selama berguru kepada KH Wahab Hasbullah, Abdul Chalim telah mendarmabhaktikan hidupnya demi perkembangan ilmu di kalangan para santri. Di mana Nahdlatul Wathan merupakan tempat yang sangat baik bagi Abdul Chalim dalam berguru dan menularkan kemampuan ilmiahnya.
Pendekatan ilmiah terhadap masyarakat dengan interaksi sosial keagamaan dalam Nahdlatul Wathan merupakan salah satu sumbangsih KH Abdul halim. Bagi KH Abdul halim pendekatan sosial kepada masyarakat untuk menerapkan kaidah-kaidah keilmuan syariat bagi kehidupan masyarakat menumpakan sebuah terobosan yang sangat urgen dalam menyebarkan konsep-konsep keislaman yang membumi.
Abdul Halim juga memerintah dan mengembangkan NU di Jawa Barat, khususnya sekitar Majalengka, bersama kiai-kiai yang merintis NU di Jawa Barat, seperti K.H. Abbas dan keluarga Pesantren Buntet, K.H. Mas Abdurrahman dan masih banyak lagi yang lain.
Sebagai pendiri NU, Abdul Halim tidak memiliki pesantren, tetapi atas saran K.H. Wahab Hasbullah yang bertemu di Bandung pada 1954, kemudian Abdul Halim mendirikan pusat pendidikan. Baru pada tahu 1963 ia mendirikan dan mengembangkan Madrasah Ibtidaiyyah Nahdlatul Ulama (MI-NU) yang menjadi Madrsah Dinyah pertama di Majalengka. Pada perkembangan selanjutnya, pendidikan ini bertambah dengan Madrasah Tsanawiyah Leuwimunding di bawah payung Yayasan Sabilul Halim.
Sosok yang Sederhana
Selama perjalanannya dalam mengembangkan NU di Jawa barat, ia hanya berbekal dua sarung dan makanan seadanya. Lalu, pada saat menjadi anggota DPR GR tak pernah sedikit pun memakai uang atau fasilitas negara. Bahkan mushola dan mesjid menjadi tempat istirahat di kala perjalanan menuju ibu kota Jakarta.
Tidak hanya berkiprah di dunia pendidikan. Pada tahun 1955 KH Abdul Halim menjadi anggota DPR dari partai NU dari perwakilan Jawa Barat. Sejak saat ini perjuangan KH Abdul halim lebih dititikberatkan pada pemberdayaan warga NU Jawa Barat dengan membentuk berbagai wadah pemberdayaan masyarakat seperti PERTANU (Perkumpulan Petani NU), PERGUNU (Perkumpulan Guru NU) dan pendirian lembaga-lembaga pendidikan NU di Jawa Barat lainnya.
Sang alim ini meninggal dunia pada 11 April 1972 dengan meninggalkan kenangan kesederhanaan hidup dan kesahajaan disemayamkan di sekitar area Gedung MTs Sabilul Chalim Leuwimunding. (Aris Prayuda/Anam)

Selasa, 03 Februari 2015

KH. Nahrowi Dalhar, Watucongol Magelang



Biografi KH. Nahrowi Dalhar, Watucongol
Mbah Dalhar yang bernama lengkap KH. Nahrowi Dalhar, Watucongol dikenal sebagai ulama yang mumpuni. Belum lama ini sosok Kiai Ahmad Abdul Haq meninggal dunia. Kiai kharismatik ini adalah putra dari kiai Dalhar yang juga dikenal sebagai salah satu wali Allah yang masyhur di tanah Jawa. Mbah Dalhar begitu panggilan akrabnya adalah mursyid tarekat Syadziliyah dan dikenal sebagai seorang yang wara’ dan menjadi teladan masyarakat.
Kiai Haji Dalhar, Watucongol, Magelang dikenal sebagai salah satu guru para ulama. Kharisma dan ketinggian ilmunya menjadikan rujukan umat Islam untuk menimba ilmu. Mbah Dalhar , begitu panggilan akrabnya adalah sosok yang disegani sekaligus panutan umat Islam, terutama di Jawa Tengah. Salah satu mursyid tarekat Syadziliyah ini dikenal juga menelorkan banyak ulama yang mumpuni.
Nasabnya
Mbah Dalhar dilahir kan pada 10 Syawal 1286 H atau 10 Syawal 1798 – Je (12 Januari 1870 M) di Watucongol, Muntilan, Magelang, Jawa Tengah. Lahir dalam lingkungan keluarga santri yang taat. Sang ayah yang bernama Abdurrahman bin Abdurrauf bin Hasan Tuqo adalah cucu dari Kyai Abdurrauf. Kekeknya mbah Dalhar dikenal sebagai salah seorang panglima perang Pangeran Diponegoro. Adapun nasab Kyai Hasan Tuqo sendiri sampai kepada Sunan Amangkurat Mas atau Amangkurat III. Oleh karenanya sebagai keturunan raja, Kyai Hasan Tuqo juga mempunyai nama lain dengan sebutan Raden Bagus Kemuning.
Masa Kanak-Kanak
Semasa kanak–kanak, Mbah Dalhar belajar Al-Qur’an dan beberapa dasar ilmu keagamaan pada ayahnya sendiri. Pada usia 13 tahun baru mondok di pesantren. Ia dititipkan oleh ayahnya pada Mbah Kyai Mad Ushul (begitu sebutan masyhurnya) di Dukuh Mbawang, Ngadirejo, Salaman, Magelang. Di bawah bimbingan Mbah Mad Ushul , ia belajar ilmu tauhid selama kurang lebih 2 tahun.
Kemudian tercatat juga mondok di Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu, Kebumen pada umur 15 tahun. Pesantren ini dipimpin oleh Syeikh As Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani atau yang ma’ruf dengan laqobnya Syeikh Abdul Kahfi Ats-Tsani. Selama delapan tahun mbah Kyai Dalhar belajar di pesantren ini. Selama itulah Mbah Dalhar berkhidmah di ndalem pengasuh. Hal itu terjadi atas dasar permintaan ayahnya kepada Syeikh As Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani.
Jalan Kaki dan Pemberian Nama
Tidak hanya di daerah sekitar Mbah Dalhar menimba ilmu. Di Makkah Mukaramah beliau berguru kepada beberapa alim ulama yang masyhur. Perjalalannya ke tanah suci untuk menuntut ilmu terjadi pada tahun 1314 H/1896 M. Mbah Kyai Dalhar diminta oleh gurunya, Syeikh As Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani untuk menemani putera laki – laki tertuanya Sayid Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani untuk menuntut ilmu di Mekkah. Syeikh As Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani berkeinginan menyerahkan pendidikan puteranya kepada shahib beliau yang menjadi mufti syafi’iyyah Syeikh As Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani.
Keduanya berangkat ke Makkah dengan menggunakan kapal laut melalui pelabuhan Tanjung Mas,Semarang. Ada sebuah kisah menarik tentang perjalanan keduanya. Selama perjalanan dari Kebumen dan singgah di Muntilan, kemudian lanjut sampai di Semarang, Mbah Dalhar memilih tetap berjalan kaki sambil menuntun kuda yang dikendarai oleh Sayid Abdurrahman. Hal ini dikarenakan sikap takdzimnya kepada sang guru. Padahal Sayid Abdurrahman telah mempersilahkan mbah Kyai Dalhar agar naik kuda bersama.
Di Makkah (waktu itu masih bernama Hijaz), mbah Kyai Dalhar dan Sayid Abdurrahman tinggal di rubath (asrama tempat para santri tinggal) Syeikh As Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani yaitu didaerah Misfalah.
Sayid Abdurrahman dalam rihlah ini hanya sempat belajar pada Syeikh As Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani selama 3 bulan, karena beliau diminta oleh gurunya dan para ulama Hijaz untuk memimpin kaum muslimin mempertahankan Makkah dan Madinah dari serangan sekutu. Sementara itu mbah Kyai Dalhar diuntungkan dengan dapat belajar ditanah suci tersebut hingga mencapai waktu 25 tahun.
Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani inilah yang kemudian memberi nama “Dalhar” pada mbah Kyai Dalhar. Hingga ahirnya beliau memakai nama Nahrowi Dalhar. Dimana nama Nahrowi adalah nama asli beliau. Dan Dalhar adalah nama yang diberikan untuk beliau oleh Syeikh As Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani. Rupanya atas kehendak Allah Swt, mbah Kyai Nahrowi Dalhar dibelakang waktu lebih masyhur namanya dengan nama pemberian sang guru yaitu Mbah Kyai “Dalhar”.
Ketika berada di Hijaz inilah mbah Kyai Dalhar memperoleh ijazah kemursyidan Thariqah As-Syadziliyyah dari Syeikh Muhtarom Al-Makki dan ijazah aurad Dalailil Khoerat dari Sayid Muhammad Amin Al-Madani. Dimana kedua amaliyah ini dibelakang waktu menjadi bagian amaliah rutin yang memasyhurkan.
Mbah Kyai Dalhar adalah seorang ulama yang senang melakukan riyadhah.
Sehingga pantas saja jika menurut riwayat shahih yang berasal dari para ulama ahli hakikat sahabat – sahabatnya, beliau adalah orang yang amat akrab dengan nabiyullah Khidhr as. Sampai–sampai ada putera beliau yang diberi nama Khidr karena tafaullan dengan nabiyullah tersebut. Sayang putera beliau ini yang cukup ‘alim walau masih amat muda dikehendaki kembali oleh Allah Swt ketika usianya belum menginjak dewasa.
Selama di tanah suci, mbah Kyai Dalhar pernah melakukan khalwat selama 3 tahun disuatu goa yang teramat sempit tempatnya. Dan selama itu pula beliau melakukan puasa dengan berbuka hanya memakan 3 buah biji kurma saja serta meminum seteguk air zamzam secukupnya. Dari bagian riyadhahnya, beliau juga pernah melakukan riyadhah khusus untuk mendoakan para keturunan beliau serta para santri – santrinya.
Dalam hal adab selama ditanah suci, mbah Kyai Dalhar tidak pernah buang air kecil ataupun air besar di tanah Haram. Ketika merasa perlu untuk qadhil hajat, beliau lari keluar tanah Haram.
Selain mengamalkan dzikir jahr ‘ala thariqatis syadziliyyah, mbah Kyai Dalhar juga senang melakukan dzikir sirr. Ketika sudah tagharruq dengan dzikir sirrnya ini, mbah Kyai Dalhar dapat mencapai 3 hari 3 malam tak dapat diganggu oleh siapapun. Dalam hal thariqah As-Syadziliyyah ini menurut kakek penulis KH Ahmad Abdul Haq, beliau mbah Kyai Dalhar menurunkan ijazah kemursyidan hanya kepada 3 orang. Yaitu, Kyai Iskandar, Salatiga ; KH Dimyathi, Banten ; dan kakek penulis sendiri yaitu KH Ahmad Abdul Haq. Sahrallayal (meninggalkan tidur malam) adalah juga bagian dari riyadhah mbah Kyai Dalhar. Sampai dengan sekarang, meninggalkan tidur malam ini menjadi bagian adat kebiasaan yang berlaku bagi para putera – putera di Watucongol.
Murid dan Karya – karyanya
Karya mbah Kyai Dalhar yang sementara ini dikenal dan telah beredar secara umum adalah Kitab Tanwirul Ma’ani. Sebuah karya tulis berbahasa Arab tentang manaqib Syeikh As-Sayid Abil Hasan ‘Ali bin Abdillah bin Abdil Jabbar As-Syadzili Al-Hasani, imam thariqah As-Syadziliyyah. Selain daripada itu sementara ini masih dalam penelitian. Karena salah sebuah karya tulis tentang sharaf yang sempat diduga sebagai karya beliau setelah ditashih kepada KH Ahmad Abdul Haq ternyata yang benar adalah kitab sharaf susunan Syeikh As-Sayid Mahfudz bin Abdurrahman Somalangu. Karena beliau pernah mengajar di Watucongol, setelah menyusun kitab tersebut di Termas. Dimana pada saat tersebut belum muncul tashrifan ala Jombang.
Banyak sekali tokoh–tokoh ulama terkenal negara ini yang sempat berguru kepada beliau semenjak sekitar tahun 1920 – 1959. Diantaranya adalah KH Mahrus,Lirboyo ; KH Dimyati Banten ; KH Marzuki, Giriloyo dan lain sebagainya. Sesudah mengalami sakit selama kurang lebih 3 tahun, Mbah Kyai Dalhar wafat pada hari Rabu Pon, 29 Ramadhan 1890 – Jimakir (1378 H) atau bertepatan dengan 8 April 1959 M. Ada yang meriwayatkan jika beliau wafat pada 23 Ramadhan 1959. Akan tetapi 23 Ramadhan 1959 bukanlah hari Rabu namun jatuh hari Kamis Pahing. Semoga amal ibadah beliau di terima oleh Allah SWT dan semoga kesalahan-kesalahan beliau juga di ampuni oleh Allah SWT. Aamiin Yaa Rabbal ‘Aalamiin…. Semoga blog kumpulan biografi ulama ini bisa bermanfaat umumnya untuk Anda dan khususnya untuk saya pribadi.

Sayyid Sulaiman Betek Mojoagung Jombang


Sekitar pertengahan abad ke-16 Masehi tersebutlah seorang pemuda gagah berdarah Arab di tepi barat pulau Jawa, Cirebon. Selama beberapa bulan ia berlayar dari kampung halamannya di negara Yaman. Saat itu memang sedang gencar-gencarnya orang-orang Arab berimigrasi ke tanah Jawa. Dan salah satunya adalah kakek Mbah Sayid Sulaiman, tokoh yang disebut di awal tulisan ini.
Orang-orang Arab ini datang dengan maksud bermacam-macam. Ada yang berdakwah untuk menyebarkan agama Islam, ada pula yang berniaga seraya berdakwah. Pemuda itu bernama Abdurrahman. Ia adalah seorang Sayid keturunan Rasulullah yang bergelar Basyaiban. Basyaiban adalah gelar warga habib keturunan Sayid Abu Bakar Syaiban, seorang ulama terkemuka di Tarim, Hadramaut, yang terkenal alim dan sakti.
Sayid Abu Bakar mendapat julukan Syaiban (yang beruban) karena ada kisah unik dibalik julukannya itu. Suatu ketika, Sayid Abu Bakar yang saat itu masih tergolong muda menghilang. Sejak itu ia tidak muncul-muncul. Konon, ia uzlah untuk mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa. Baru setelah sekitar tiga puluh tahun, Sayid Abu Bakar muncul di Tarim. Ia tetap tampak muda. Tapi aneh, rambutnya putih, tak selembar pun yang hitam. Ia seperti berambut salju. Sejak itulah orang-orang menjulukinya Syaiban (yang beruban).
Abdurrahman masih tergolong cicit dari Sayid Abu Bakar Basyaiban. Ia putra sulung Sayid Umar bin Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar Basyaiban. Lahir pada abad 16 Masehi di Tarim, Yaman bagian selatan, perkampungan sejuk di Hadramaut yang masyhur sebagai gudang para wali.
Dalam masa perantauannya ke Nusantara, tepatnya di Pulau Jawa, Sayid Abdurrahman memilih bertempat tinggal di Cirebon, Jawa Barat. Beberapa waktu kemudian, ia mempersunting putri Maulana Sultan Hasanuddin (?-1570 M). Putri bangsawan itu juga masih keturunan Rasulullah. Ia bernama Syarifah Khadijah, cucu Raden Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Dari pasangan dua keturunan Rasulullah ini, lahir tiga orang putra: Sayid Sulaiman, Sayid Abdurrahim (terkenal dengan sebutan Mbah Arif Segoropuro Pasuruan), dan Sayid Abdul Karim.
Mewarisi ketekunan leluhurnya dalam berdakwah, keluarga ini berjuang keras menyebarkan Islam di Jawa, tak jauh dengan apa yang telah dilakukan oleh Syarif Hidayatullah, Sunan Gunung Jati, di Cirebon. Pengaruh dan ketekunan mereka dalam berdakwah membuat penjajah Belanda khawatir. Maka ketika menginjak dewasa, Sayid Sulaiman dibuang oleh mereka. Putra sulung Sayid Abdurrahman ini, kemudian tinggal di Krapyak, Pekalongan, Jawa Tengah. Di Pekalongan, beliau menikah dan mempunyai beberapa orang putra. Empat di antaranya laki-laki, yaitu Hasan, Abdul Wahhab, Muhammad Baqir, dan Ali Akbar.
Dari Pekalongan Sayid Sulaiman berkelana lagi. Kali ini, Solo (Surakarta) menjadi tempat tujuan. Selama tinggal di Solo beliau terkenal sakti. Kesaktiannya yang sudah masyhur itu mengundang rasa iri seorang Raja dari Mataram. Sang Raja ingin membuktikan kesaktian Sayid. Maka diundanglah Sayid ke keraton.
Saat itu di istana sedang berlangsung pesta pernikahan putri bungsu sang Raja. Sayid Sulaiman dipanggil menghadap. Untuk memeriahkan pesta pernikahan putri bungsunya ini, Raja meminta agar Sayid memperagakan pertunjukan yang tak pernah diperagakan oleh siapapun.
“Sulaiman, anda ini orang sakti. Kalau benar-benar sakti, saya minta tolong buatkan pertunjukan yang tidak umum, yang belum pernah disaksikan oleh orang-orang sini,” pinta Raja Mataram kepada Sayid dengan nada menghina.
Mendengar permintaan Raja yang sinis itu, Sayid meminta pada Raja untuk meletakkan bambu di alas meja, sembari berpesan untuk ditunggu. Sayid Sulaiman lalu pergi ke arah timur. Masyarakat sekitar keraton menunggu kedatangan Sayid demikian lama, namun Sayid belum juga datang. Raja Mataram hilang kesabaran. la marah. la membanting bambu di alas meja itu hingga hancur berkeping-keping. Sesuatu yang ajaib terjadi, kepingan bambu-bambu itu menjelma menjadi hewan yang bermacam-macam. Raja Mataram tersentak melihat keajaiban ini, barulah ia mengakui kesaktian Sayid Sulaiman.
Raja Mataram kemudian menitahkan beberapa prajuritnya untuk mencari Sayid Sulaiman. Sedang hewan-hewan jelmaan bambu itu terus dipelihara. Hewan-hewan itu ditampung dalam sebuah kebun binatang yang kemudian diberi nama “Sriwedari”. Artinya, “Sri” adalah tempat, sedangkan “Wedari” adalah “wedar sabdane Sayid Sulaiman”. Kebun binatang itu tetap terpelihara. Tak lama berselang, Sriwedari menjadi sebuah taman dan obyek wisata terkenal peninggalan Mataram. Namun pada tahun 1978, binatang-binatang di Sriwedari dipindah ke kebun binatang Satwataru.
Nyantri di Ampel
Setelah meninggalkan Solo, Mbah Sayid Sulaiman pergi dari Solo ke Surabaya. Untuk sampai ke Surabaya, beliau harus melalui hutan belantara. Tujuan beliau menuju ke Ampel, Surabaya, adalah untuk nyantri kepada Raden Rahmat atau Sunan Ampel. Kabar keberadaan Sayid Sulaiman akhirnya sampai ke telinga Raja Mataram. Ia mengirim utusan ke Surabaya untuk memanggilnya. Di antara utusan itu ada Sayid Abdurrahim, adik kandung Sayid Sulaiman sendiri. Sesampainya di Ampel, ia sangat terharu bertemu kembali dengan kakaknya tercinta. Dan akhirnya, ia memutuskan untuk tidak kembali lagi ke Mataram. Ia ingin belajar kepada Sunan Ampel bersama sang kakak.
Pada suatu malam, saat murid-murid Sunan Ampel sudah tertidur pulas, tiba-tiba terdapat dua kilatan sinar menerpa dua orang murid Sunan Ampel yang sedang tidur. Sinar itu berwarna kuning keemasan. Sunan Ampel yang saat itu sedang tidak tidur, menghampiri tempat jatuhnya sinar tadi. Karena keadaan yang gelap, beliau tidak dapat melihat dengan jelas wajah kedua santrinya yang diterpa sinar keemasan ini. Beliau memutuskan untuk mengikat sarung kedua santrinya itu. Usai salat Subuh, Sunan Ampel bertanya kepada para santrinya,
“Siapa yang sarungnya tadi malam terikat?”
Mbah Sayid Sulaiman dan Mbah Abdurrahim mengacungkan tangan. Lalu, Sunan Ampel berkata,
“Mulai sekarang, santriku jangan manggil Sulaiman, jangan manggil Abdurrahim tok, tapi panggillah Mas Sulaiman dan Mas Abdurrahim!”
Panggilan ini menjadi cikal-bakal sebutan “Mas” (semacam “Gus”) oleh santri untuk memanggil keturunan para Masyayikh.
Riwayat belajarnya Sayid Sulaiman kepada Sunan Ampel ini sebenarnya masih sangat disangsikan. Soalnya, terdapat selisih tahun yang terlalu jauh antara masa hidup Sayid Sulaiman dan Sunan Ampel. Sunan Ampel hidup pada 1401-1481 M (abad 14 M), sedangkan Sayid Sulaiman diperkirakan hidup pada abad 17 M, jadi selisih tiga abad (300 tahun) dengan Sunan Ampel. Kemungkinan besar, Sayid Sulaiman belajar di Ampel ini tidak pada Sunan Ampel sendiri, tetapi pada generasi-generasi penerus beliau. Kemungkinan juga cerita di atas terjadi ketika mereka nyantri kepada Habib Sholeh (Mbah Semendi).
Keramat di Pasuruan
Setelah nyantri di Ampel, kakak beradik ini pergi ke Pasuruan untuk nyantri pada Mbah Sholeh Semendi di Segoropuro. (Belakangan diketahui ternyata Mbah Sholeh adalah paman mereka sendiri, saudaranya ibu mereka, Syarifah Khodijah). Setibanya di Pasuruan, setelah mengungkapkan keinginan untuk menuntut ilmu, mereka diajak mandi di sungai Winongan oleh Mbah Sholeh Semendi. Ketika mereka sedang asyik mandi bersama, tiba-tiba Mbah Semendi hilang, tak lama kemudian, muncul lagi. Kejadian ini terulang sampai dua kali.
Mbah Sulaiman berfirasat bahwa Mbah Sholeh Semendi bermaksud mencoba kesaktiannya bersama adiknya berdua. Mereka berunding, jika nanti Mbah Sholeh sedang mandi, teklek (bakiak/sandal kayu zaman dahulu) miliknya dipegang bersama-sama agar Mbah Sholeh tidak bisa menghilang. Maka mereka memegang teklek Mbah Sholeh itu dengan mengerahkan segala kemampuan. Demikian pula Mbah Sholeh. Tapi Mbah Sholeh Semendi tidak bisa menghilang. Akhirnya ia tahu bahwa ia tidak bisa menghilang sebab tekleknya dipegang oleh Sayid Sulaiman dan Sayid Abdurrahim,
“Eh, eh, jangan begitu. Lepaskan sandal saya!” pinta Mbah Sholeh.
Setelah kejadian itu, Mbah Sholeh mengakui akan kesaktian dua bersaudara itu.
Banyak kisah-kisah luar biasa yang terjadi antara Sayid Sulaiman dan Mbah Sholeh. Di antaranya, pada suatu hari, Mbah Sholeh hendak bepergian. Sebelum pergi, beliau berpesan kepada semua santrinya agar halaman dibersihkan selama kepergiannya. Maka saat beliau berangkat pergi, semua santri Mbah Sholeh melaksanakan kerja bakti, Sayid Sulaiman dan Sayid Abdurrahim turut serta bersama mereka. Lagi-lagi Sayid Sulaiman membuat keajaiban. Ia mencabuti pohon-pohon besar hingga bersih total.
Setiba dari bepergiannya, Mbah Sholeh kaget melihat pohon-pohon besar yang dicabuti sampai bersih. Setelah tahu bahwa yang mencabuti adalah Sayid Sulaiman, Mbah Sholeh memerintahkan agar pohon-pohon itu dikembalikan seperti semula. Subhanallah, dengan izin Allah, pohon-pohon tersebut dapat dikembalikan lagi oleh Mbah Sayid. Sejak kejadian itu, berita tentang kesaktian Mbah Sayid Sulaiman tersiar dari mulut ke mulut di seluruh penjuru Pasuruan.
Setelah mondok di Mbah Sholeh, Sayid Sulaiman tinggal di Kanigoro, Pasuruan. Sehingga beliau mendapat julukan Pangeran Kanigoro. Saat itu, beliau sempat menjadi penasehat Untung Surapati. Untung Surapati adalah tokoh terkemuka Pasuruan. Ia tercatat sebagai pahlawan yang berjasa mengusir penjajah Belanda dari Nusantara di Pasuruan.
Berita tentang kesaktian Sayid Sulaiman juga terdengar oleh Raja Keraton Pasuruan. Raja Pasuruan ini tidak percaya tentang kesaktiannya. Ia sering kali melecehkan kesaktian Mbah Sayid. Sampai suatu ketika Putri Keraton yang sedang berjalan-jalan keliling kota hilang. Kusir dan kereta kuda yang dipakai oleh sang Putri juga ikut raib. Sang Raja menjadi sedih bermuram durja.
Diadakanlah sayembara: Bagi yang menemukan sang Putri, akan mendapat hadiah yang amat besar. Tapi malang, tidak ada satu orang pun yang berhasil menemukan sang Putri. Sang Putri seperti lenyap ditelan bumi. Hati Raja semakin bersedih dan putus asa.
Akhirnya, ia meminta bantuan kepada Sayid Sulaiman yang sebelumnya sering ia hina. Di hadapan Sang Raja, Mbah Sulaiman memasukkan tangannya ke dalam saku. Tak berapa lama kemudian, beliau melemparkan sesuatu dari dalam sakunya ke halaman. Luar biasa! Dengan izin Allah, sang Putri muncul bersama kereta dan kusirnya di halaman Keraton. Konon, ia dibawa lari jin ke alam gaib.
Melihat putrinya kembali, hati Raja berbunga-bunga. Ia gembira alang-kepalang dan meminta agar Sayid Sulaiman menikahi putrinya itu sebagai tanda ucapan terima kasih atas jasanya. Namun Mbah Sayid menolak. Beliau memilih kembali ke Kanigoro.
Tak lama kemudian, Sayid Sulaiman diambil menantu oleh gurunya yang notabene pamannya sendiri, Mbah Sholeh Semendi. Semula, beliau menolak, tetapi akhirnya beliau menerima permintaan gurunya itu. Beliau menikahi putri Mbah Sholeh yang kedua. Sedangkan adiknya, Mbah Abdurrahim, mempersunting putri Mbah Sholeh yang pertama, kakaknya istri Mbah Sulaiman. Mbah Abdurrahim tinggal di Segoropuro, Pasuruan, sampai meninggal dunia. Orang-orang mengenalnya dengan panggilan Mbah Arif Segoropuro. Sedangkan Mbah Abdul Karim, adik Sayid Sulaiman yang kedua, wafat di Surabaya dan dimakamkan di komplek pemakaman Sunan Ampel.
Selain beristri putri Mbah Sholeh, Sayid Sulaiman juga mempunyai istri dari Malang. Dari istrinya dari Malang ini beliau mempunyai putra bernama Hazam.
Kembali ke Cirebon
Setelah hari pernikahan, Mbah Sulaiman kembali ke Cirebon, Jawa Barat, tempat di mana ia lahir dan menghabiskan masa kanak-kanaknya bersama ayah dan ibu tercinta. Tapi pada saat itu, suasana di Banten dan Cirebon sedang ricuh disebabkan terjadinya pertikaian antara Sultan Agung Tirtayasa dengan putranya sendiri, Sultan Haji, yang terjadi berkisar pada tahun 1681-1683. Maka sejak tahun 1681, Sultan Agung Tirtayasa aktif melakukan penyerangan terhadap putranya ini. Pemicu pertikaian yang berlangsung sampai tiga tahun ini adalah pemihakan Sultan Haji pada Belanda.
Melihat hal ini, Mbah Sulaiman memutuskan untuk kembali lagi ke Pasuruan. Beliau kembali menetap di Kanigoro, sebuah dusun di desa Gambir Kuning. Di Gambir Kuning beliau mendirikan dua buah masjid unik. Bahan bangunannya seperti kayu usuk, belandar, ring, dan lain-lain hanya diambilkan dari kayu satu pohon terbesar di hutan Kejayan. Pohon besar itu adalah pemberian dari kepala hutan Kerajaan Untung Surapati Pasuruan. Karena ukuran pohon itu sangat besar, disediakanlah 40 ekor sapi untuk menariknya ke lokasi pembangunan masjid, tapi sapi-sapi itu tidak kuat membawanya. Tapi aneh, keesokan harinya kayu-kayu itu sudah ada di lokasi pembangunan. Konon, yang mengangkat kayu itu adalah Sayid Sulaiman sendiri.
Sampai sekarang masjid ini masih tetap ada. Namun, karena lokasinya yang sempit, masjid itu dipindah agak ke selatan oleh Syekh Rafi’i, cicit Mbah Sulaiman dari cucunya, Ummi Kultsum bin Hazam bin Sulaiman, pada bulan Rabiul Awal 1243 H, hampir dua abad yang lalu. Masjid dengan gaya arsitektur kuno itu, kini telah berusia lebih dari 400 tahun. Sampai kini, bahan-bahan masjid peninggalan Mbah Sulaiman itu masih asli, kecuali lantai dan tiang bagian dalam.
Pergi ke Keraton Mataram
Kabar kekeramatan Mbah Sayid di Pasuruan terdengar kembali ke Keraton Mataram (Solo). Raja Mataram mengutus salah seorang adipatinya untuk memanggil Mbah Sayid di Pasuruan. Setibanya di Pasuruan, adipati tersebut mengajak Mbah Sayid untuk memenuhi panggilan Raja. Mbah Sayid bermaksud memenuhi panggilan ini.
Bersama tiga orang santrinya, Mbah Djailani (Tulangan Sidoarjo), Ahmad Surahim bin Untung Surapati, dan Sayid Hazam, putranya sendiri, beliau berangkat ke Solo. Di Keraton, Raja Mataram mengumpulkan pembesar-pembesar kerajaan. Ia menyiapkan jamuan besar-besaran yang betul-betul mewah. Namun ada yang terasa janggal di hati Mbah Sayid. Ada tiga keris pusaka yang diletakkan di alas cowek yang ada sambalnya ketika mereka sedang makan bersama-sama.
Mbah Sulaiman heran melihat keris di depannya itu. Beliau berbisik kepada santrinya, “Nak, kalian lupa tidak memakan sayur kacang ini. Ayo dimakan, masing-masing satu!),” perintah Mbah Sulaiman.
“Oh, iya Mbah,” jawab mereka serempak.
Tiga buah keris itupun habis dimakan seperti halnya makan sayur kacang-kacangan. Semua yang hadir terhenyak.
“Kalau muridnya saja seperti ini, apalagi gurunya,” gumam mereka kagum.
Setelah acara makan-makan selesai, Raja Mataram Solo berembuk dengan pembesar-pembesarnya untuk mengangkat Mbah Sulaiman menjadi hakim. Namun saat kesepakatan ini disampaikan pada Sayid, beliau menolak, dengan alasan akan meminta pertimbangan dan restu kepada istri dan masyarakatnya yang ada di Pasuruan. Tentu saja, mereka yang di Pasuruan tidak menyetujui. Mereka tidak mau kehilangan tokoh yang disegani ini.
Wafatnya Sayid Sulaiman
Setiba di Pasuruan, setelah dari Solo untuk mengabarkan penolakan rakyat Pasuruan pada sang Raja, Sayid Sulaiman pamit kepada istrinya yang sedang hamil tua untuk pergi ke Ampel, Surabaya. Lalu meneruskan perjalanannya ke Jombang. Namun di tengah perjalanan, tepatnya di kampung Betek, Mojoagung, Jombang, beliau jatuh sakit, kemudian wafat dan dimakamkan di sana. Tidak diketahui dengan pasti tahun kewafatannya.
Istri Mbah Sulaiman yang sedang hamil tua itu terus menunggu kedatangan sang suami. Yang ditunggu-tunggu ternyata tidak kunjung datang. la memutuskan untuk mencari Mbah Sulaiman. Dari Pasuruan ke Sidoarjo, Surabaya, lalu ke Malang. Akhirnya ia melahirkan di Desa Mendit, dekat pemandian. Namun bayinya langsung meninggal dunia dan dimakamkan di Kampung Woksuru. Istri Mbah Sulaiman ini tetap tidak putus asa. la terus mencari Sayid ke arah selatan, menuju Desa Sawojajar, Malang bagian timur. Tapi malang tak dapat ditolak, ia meninggal dunia sesampainya di desa Grebek.
Menurut versi lain, ketika pergi ke Solo untuk memenuhi panggilan Raja, Mbah Sulaiman tidak sampai ke Solo. Beliau jatuh sakit di tengah perjalanan, tepatnya di kampung Betek, Mojoagung. Selama masa sakitnya, beliau dirawat oleh seorang kiai bernama Mbah Alif, sampai beliau memenuhi panggilan Tuhan. Selama berada di Mojoagung dalam rawatan Mbah Alif, Mbah Sayid Sulaiman berdoa kepada Tuhan, Kalau pertemuannya dengan Raja Solo dianggap baik dan bermanfaat, maka beliau memohon agar dipertemukan. Tetapi jika tidak, maka beliau minta lebih baik wafat di tempat itu. Akhirnya, permintaan yang kedua dikabulkan oleh Allah. Beliau tidak sampai bertemu dengan Raja Mataram, dan wafat di Mojoagung.
Adipati yang disuruh menjemput Mbah Sayid, mengirim surat kepada Raja Solo, bahwa dirinya tidak akan kembali ke Solo dan memilih menetap di Mojoagung untuk menjaga makam Mbah Sayid. Sang adipati tetap tinggal di Mojoagung hingga meninggal dunia dan dimakamkan di sana pula.
Turunkan Pewaris Perjuangannya
Hasil jerih payah Mbah Sayid dalam segala usahanya membawa berkah amat besar bagi kehidupan beragama kaum muslimin sampai sekarang. Perjuangannya mendirikan pesantren, melawan dan bergelut dengan tantangan, telah menorehkan napak tilas terciptanya apa yang kini kerap disebut dengan kentalnya moralitas agamis dan budaya pesantren. Beliau berjasa mendirikan Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan, juga menurunkan pewaris-pewaris perjuangannya. Para pewaris perjuangannya termasuk para ulama pemangku pesantren-pesantren besar, mulai dari Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan, Pondok Pesantren Sidoresmo dan Pondok Pesantren Al-Muhibbin Surabaya, sampai Pondok Pesantren Syaikhuna Kholil Bangkalan.
Dari istri pertamanya di Krapyak Pekalongan, Sayid Sulaiman dikaruniai empat orang putra. Yaitu Hasan, Abdul Wahhab, Muhammad Baqir (makamnya ada di Geluran,Sepanjang, Sidoarjo), dan Ali Akbar. Keturunan Sayid Sulaiman dari jalur Abdul Wahhab, banyak yang tinggal di Magelang dan Pekalongan. Sedangkan keturunan beliau dari jalur Muhammad Baqir berada di Krapyak Pekalongan. Abdul Wahhab dikenal sebagai pejuang yang gigih melawan penjajah Portugis dan Belanda. Begitu pula Hasan. Sayid yang masyhur dengan sebutan “Pangeran Agung” ini juga sosok pejuang pembebasan tanah Jawa dari cengkeraman Kompeni Belanda.
Melalui jalur Sayid Ali Akbar, banyak terlahir ulama-ulama pemangku pesantren di Jawa Timur. Sebut saja, Sidogiri, Demangan Bangkalan, dan Sidoresmo Surabaya. Sampai kini, makam Sayid Ali Akbar tidak diketahui. Konon, karena kegigihannya menentang penjajah, ia selalu diburu oleh Kompeni Belanda. Suatu ketika, Belanda berhasil menangkap Ali Akbar dan akan dibuang ke Belanda dengan menggunakan kapal. Tapi di tengah pelayaran Sayid Ali Akbar hilang. Anehnya, ia muncul lagi di Sidoresmo. Untuk kedua kalinya beliau ditangkap tentara Kompeni dan dibawa ke Belanda. Tapi seperti semula, beliau menghilang di tengah pelayaran dan kembali ke Sidoresmo. Kemudian, untuk ketiga kalinya beliau ditangkap dan dibawa ke Belanda. Tidak seperti penangkapan sebelumnya, Ali Akbar tidak kembali ke Sidoresmo. Ia terus menghilang. Konon, beliau lari ke Tarim, Hadramaut, kampung para wali di mana kakeknya, Abdurrahman Basyaiban, dilahirkan.
Sayid Ali Akbar meninggalkan enam putra yang kelak menjadi penerus jejak kakeknya, Mbah Sayid Sulaiman. Mereka adalah:
1. Sayid Imam Ghazali (makamnya di Tawunan Pasuruan)
2. Sayid Ibrahim (makamnya di Kota Pasuruan)
3. Sayid Badruddin (makamnya di sebelah Tugu Pahlawan Surabaya)
4. Sayid Iskandar (makamnya di Bungkul Surabaya)
5. Sayid Abdullah (makamnya di Bangkalan Madura) dan
6. Sayid Ali Ashghar (makamnya di Sidoresmo).
(belakangan diketahui, bahwa menurut catatan nasab keluarga Sidogiri dan Bangkalan, Sayid Abdullah adalah putra Sayid Sulaiman, bukan cucu Sayid Sulaiman dari Sayid Ali Akbar).
Dari Sayid Abdullah, terlahir pewaris-pewaris perjuangan Sayid Sulaiman yang memangku pesantren seperti Sidogiri dan Demangan Bangkalan, yang masing-masing telah memiliki ribuan santri.
Sedangkan keturunan Mbah Sayid Sulaiman dari Ali Ashghar di Surabaya telah ‘menguasai’ dua desa, Sidoresmo dan Sidosermo. Sekarang, di dua desa ini terdapat sekitar 28 pondok pesantren. Semuanya diasuh oleh keturunan Sayid Sulaiman.
Sayid Ali Ashghar juga menurunkan ulama-ulama pemangku pesantren di Tambak Yosowilangon, Surabaya.
Sedangkan dari istrinya yang kedua, putri Mbah Sholeh Semendi, Sayid Sulaiman mempunyai beberapa putra. Di antaranya kiai Ahmad, Lebak, Winongan, Pasuruan. Dari istrinya yang ketiga di Malang, beliau mempunyai putra Sayid Hazam. Tetapi menurut riwayat lain, Hazam adalah putra Mbah Sulaiman dari istri yang kedua, putri Mbah Sholeh Semendi.
Pembabat Sidogiri
Konon, Mbah Sayid Sulaiman membabat Sidogiri atas titah dari Sunan Giri. Beliau harus berjuang habis-habisan untuk membabat Sidogiri. Tidak sekadar bekerja keras menebang pohon-pohon Sidogiri yang masih berwujud rimba, tapi juga harus bertarung melawan bangsa Jin, sebab Sidogiri yang saat itu masih sangat angker dan menyeramkan, menjadi sarang makhluk halus dan markas para dedemit (jin). Sayang, beliau keburu mangkat saat melakukan perjalanan ke Jombang, sebelum perjuangannya yang penuh pengorbanan ini berhasil dengan sempurna. Setelah wafatnya Sayid Sulaiman, tidak ditemukan data yang kuat mengenai pelanjut perjuangan beliau dalam mambabat Sidogiri. Jejak sejarahnya hilang dan baru tercatat sejak periode Kiai Aminullah.
Ada dua versi mengenai tahun berdirinya Pondok Pesantren Sidogiri. Dalam satu versi, Sidogiri didirikan pada tahun 1745. Dalam catatan lain Pondok Pesantren Sidogiri berdiri pada tahun 1712. Tahun 1712 adalah tahun paling dekat dengan masa hidup Sayid Sulaiman. Sebab seperti disebutkan sebelumnya, beliau membabat Sidogiri pada usia senjanya. Belum sempurna pembabatan Sidogiri, Sayid Sulaiman keburu meninggal.
Sedang beliau hidup pada masa Untung Surapati yang meninggal tahun 1705. Sedangkan tahun 1745 diperkirakan masa hidup Kiai Aminullah. Jadi, kemungkinan besar, usia Pondok Pesantren Sidogiri 268 tahun pada tahun ini (2013) adalah terhitung sejak periode Kiai Aminullah ini.
Kiai Aminullah adalah seorang santri yang berasal dari Bawean. Menurut satu riwayat, beliau menikah dengan Nyai Masturah binti Rofi’i bin Umi Kultsum binti Hazam bin Sayid Sulaiman. Bersama Nyai Masturah, Kiai Aminullah menetap di Sidogiri.
Namun menurut riwayat yang masyhur di kalangan keluarga Sidogiri berdasarkan catatan silsilah, Kiai Aminullah menikah dengan Nyai Indah binti Sayid Sulaiman. Menurut riwayat ini, Kiai Aminullah adalah menantu langsung Sayid Sulaiman.
Kiai Aminullah sendiri adalah figur abid (ahli ibadah) yang senang berkhidmah. Bahkan, sehabis salat Tahajud, beliau istiqamah mengisi jeding masjid-masjid di sekitar Sidogiri. Hal ini terus beliau lakukan sampai empat tahun.